Rabu, 09 April 2008

MAHIR AL-QUR’AN



Pada suatu waktu Abdullah bin ‘Amr berkisah. Aku bertanya kepada Rasulullah. Wahai Rasulullah! Berapa banyakkah yang lebih baik aku membaca Al-Qur’an? Beliau menjawab : Khatamkan Al-Qur’an itu dalam satu bulan. Aku katakan : Aku sanggup lebih dari itu ya Rasulallah. Beliau menjawab : Khatamkan ia dalam dua puluh hari. Aku katakan : Aku sanggup lebih dari itu ya Rasulallah. Beliau menjawab : Khatamkan ia dalam lima belas hari. Aku katakan : Aku sanggup lebih dari itu ya Rasulallah. Beliau menjawab : Khatamkan ia dalam sepuluh hari. Aku katakana : Aku sanggup lebih dari itu ya Rasulallah. Beliau menjawab : Khatamkan ia dalam lim hari. Aku katan lagi : Aku sanggup lebih dari itu ya Rasulallah. Setelah itu, Rasulullah tidak memberikan keringanan lagi buat aku. Demikianlah kisah Abdullah bin ‘Amr yang diriwayatkan imam Tirmidzi.[1]

Abdullah bin ‘Amr adalah salah seorang sahabat Nabi yang telah mahir Al-Qur’an. Namun Rasulullah saw. memberikan batasan khatam Al-Qur’an satu kali dalam satu bulan. Dan paling cepat hanya sekali khatam dalam lima hari. Padahal, kalau mau, dalam kurun waktu satu bulan bisa saja khatam berulangkali, bahkan bisa setiap hari. Bimbingan Rasulullah kepada sahabatnya itu, mempunyai tujuan yang jelas, agar dengan waktu yang tersedia cukup, Al-Qur’an dapat dibaca dengan tartil, tidak terburu-buru, dan dapat dihayati, direnungkan makna kandungannya, serta tercipta komunikasi harmonis anatara hamba dengan Al-Khaliq, pemilik wahyu, sehingga menjelma menjadi ibadah yang lebih baik sebagai media untuk menggapai rido-Nya.

Al-Qur’an adalah bacaan mulia yang dapat menyejukkan hati, pedoman hidup yang penuh hikmah, dan aturan-aturan rabbani __ berdimensi ketuhanan __ yang penuh rahmah __ kasih sayang __ bagi alam semesta, yang kebenarannya tidak dapat dibantah. Apabila dibaca dengan tartil __ bacaan perlahan-lahan berdasarkan ilmu tajwid __ akan menjelma menjadi amal ibadah yang dapat menebarkan benih-benih ketenangan dan ketenteraman dalam hati. Apabila dipahami akan ditemukan mutiara-mutiara indah sebagai sumber pedoman dalam perjuangan mengarungi bahtera kehidupan di muka bumi. Dan apabila diamalkan akan memancarkan nur cahaya kedamaian yang penuh rahmah dalam naungan rido Allah.

Membaca Al-Qur’an dengan niat ikhlas untuk mencari rido Allah, dan terus berjuang memahami makna yang terkandung di dalamnya untuk dijadikan sumber pedoman hidup, akan mendatangkan efek yang sangat besar berupa kehidupan yang bernuansa surgawi. Rasulullah saw. bersabda : Tidaklah suatu kaum yang berkumpul di sebuah rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Al-Qur’an dan belajar bersama di antara mereka, melainkan diturunkan ketenangan, dikucurkan rahmat kasih sayang kepadanya, dikelilingi oleh para malaikat dan disebutkan identitasnya oleh Allah terhadap orang-orang yang ada di sisi-Nya.[2] Dalam kesempatan yang berbeda Rasulullah saw. memberikan informasi kepada kita tentang dampak positif yang akan diperoleh seorang hamba yang mahir Al-Qur’an, sebagaimana yang tersurat dalam sabdanya : “Orang yang membaca Al-Qur’an dan telah tergolong mahir, akan dipersandingkan dalam surga bersama para Nabi dan Rasul yang mulia dan terhormat. Sedang orang yang membacanya tersendat-sendat dan lidahnya terasa berat, maka baginya ada dua pahala”.[3]

Allah akan memberikan pahala kepada hamba-Nya yang “berniat” belajar Al-Qur’an. Apabila niatnya ditindak lanjuti, maka “usahanya” itupun mendapatkan pahala lain sebagai rahmah kasih sayang-Nya. Oleh karena itu, walaupun belum mampu membaca dengan tartil, tidak perlu ragu-ragu untuk membacanya, selama masih terus belajar, Allah pasti akan memberikan jalan meraih sukses.[4]

Apresiasi __ penghargaan __ umat islam terhadap kitab suci Al-Qur’an sungguh sangat beragam. Ada yang sudah mencapai tingkat mahir Ada yang masih dalam perjalanan menuju tingkat mahir. Dan ada pula yang terus berjalan ditempat. Bahkan tidak sedikit yang hanya berada pada tingkat simpati. Dan selebihnya tidak ada peduli sama sekali. Masih banyak saudara kita yang belum mampu membaca Al-Qur’an. Sementara, ada yang pernah belajar, tetapi sudah berhenti karena disibukkan oleh berbagai aktivitas merebut kenikmatan yang bersifat kekinian untuk meraih kebahagiaan sesaat dan melupakan kebahagiaan jangka panjang yang abadi.

Perjuangan merebut tingkat mahir Al-Qur’an merupakan bukti adanya apresiasi terhadap kitab suci sebagai rangkaian proses meraih rido Allah. Ada tiga macam mahir Al-Qur’an, yaitu mahir mambaca, mahir memahami dan mahir mengamalkan, yang merupakan satu kesatuan, tak dapat dipisahkan.
1
Mahir “tilawah Al-Qur’an”, yaitu kemampuan membaca dengan tartil sebagaimana perintah Allah dalam firman-Nya : “Dan bacalah Al-Qur’an dengan perlahan-lahan (tartil).[5] Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr memberikan bimbingan kepada kita : “Bacalah, perbaikilah dan baguskanlah dengan bacaan perlahan-lahan (tartil) sebagaimana kamu hidup bagus dan indah di dunia. Sesungguhnya derajat dan kedudukanmu terdapat pada ayat akhir yang kamu baca”.[6]

Untuk dapat membaca Al-Qur’an dengan tartil diperlukan suatu bidang disiplin ilmu yang lazim dikenal dengan “Ilmui Tajwid”, yaitu ilmu yang dapat mengantarkan qari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) mampu membaca dengan benar, teratur, indah dan terhindar dari kesalahan bacaan, serta dapat lebih menikmati, menuju tingkat tadabbur __ merenungkan __ dan tafakkur __ memikirkan __ makna yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an.

Marilah kita meneladani Rasulullah dengan cara belajar membaca Al-Qur’an secara langsung di hadapan seorang yang ahli di bidangnya, sebagaimana beliau membaca di hadapan malaikat jibril. Membaca Al-Qur’an tidak hanya dapat dinikmati di alam akhirat kelak, tetapi dapat dinikmati pula semasa hidup di dunia. Seorang hamba yang tekun membaca Al-Qur’an dengan hati yang bersih akan mendapatkan balasan secara langsung berupa perasaan aman dan jiwa yang tenang. Allah swt. menegaskan, bahwa Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai obat, termasuk obat penyakit hati yang sedang gelisah.[7]

Al-Qur’an Al-Karim yang dalam bahasa Arab berarti bacaan mulia dan terhormat, bila dibaca dengan istiqamah terus menerus dengan keyakinan penuh secara tartil serta dibarengi dengan niat ikhlas mencari rido Allah, walaupun belum masuk ke tingkat pemahaman, maka dengan tingkat keindahan gaya bahasanya, ternyata terbukti dapat menimbulkan ketenangan ruhaniah bagi pembaca dan pendengarnya. Agar bacaan Al-Qur’an dapat memberikan efek tersendiri kepada pendengarnya, Rasulullah saw. berpesan kepada orang beriman agar membacanya dengan suara indah __seni baca Al-Qur’an __ : “Hiasaailah Al-Qur’a itu dengan suara-suaramu”.[8]

suatu ketika Rasulullah saw. memberikan informasi tentang keutamaan membaca Al-Qur’an dalam bahasa metaforis __ tamsil __ yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari : “ Perumpamaan orang beriman yang membaca Al-Qur’an seperti buah jeruk, baunya harum dan rasanya enak, perumpamaan orang beriman yang tidak membaca Al-Qur’an seperti korma, tidak ada bau dan rasanya manis; perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an seperti tumbuhan yang wangi, baunya sedap tapi rasanya pahit; perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah pare, baunya tidak sedap dan rasanya pahit”.[9]

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah saw. mengingatkan kita, agar suara ayat-ayat Al-Qur’an selalu dikumandangkan di setiap rumah, biar rumah itu selalu memancarkan nur cahaya Ilahiah dan setan-setan pergi menjauh dari padanya : “Jangan menjadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan. Sesunggunya rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah, tidak akan dimasuki setan”.[10] Rasulullah saw. menegaskan, bahwa orang yang tidak suka membaca Al-Qur’an bagaikan sebuah rumah yang hancur dan tidak layak lagi duhuni : “Sesungguhnya orang yang dirongga mulutnya tidak terdapat sedikitpun suara Al-Qur’an, orang itu bagaikan rumah yang roboh”.[11]

2
Mahir Al-Qur’an yang kedua adalah kemampuan menangkap mutiara-mutiara indah Al-Qur’an, baik yang tersurat maupun yang tersirat, sebagai cahaya yang dapat menerangi dalam mengarungi bahtera kehidupan di alam fana ini. Perjuangan untuk memahami Al-Qur’an, yang pertama diperlukan kemantapan iman terhadap Al-Qur’an itu sendiri sebagai pedoman hidup. Langkah kedua menumbuhkan “himmah” __ kemauan keras __ untuk membaca Al-Qur’an. Ketiga, adanya kesediaan intelektual untuk mencari tahu makna-makna dari ayat-ayat yang dibaca, sehingga dapat memberikan nilai tambah sebagai hamba yang beriman. Dan selanjutnya merenungkan __ tadabbur dan tafakkur __ makna-makna yang sudah ditemukan, sehingga dapat menaiki tangga pemahaman yang mampu mengantarkan seorang hamba menuju kehidupan yang bernuansa surgawi. Dan pada gilirannya akan mendatangkan pengaruh positif berupa mantapnya iman.

Suatu ketika pada zaman Rasulullah terdapat beberapa orang pemuda yang menceritakan pengalamannya dalam perjuangan meraih tingkat keimanan yang lebih tinggi. Mereka menuturkan sebagaimana yang dikisahkan oleh Jundub bin Abdillah : “Kami berada bersama Nabi saw. dan kami adalah termasuk pemuda yang kekar dan kuat. Kami belajar iman sebelum belajar Al-Qur’an, lalu kami belajar Al-Qur’an, maka dengan itu, bertambah mantaplah iman kami”.[12]

Begitu pentingnya memahami Al-Qur’an, maka hamba yang berjuang menyelami lautan ilmu, mejaring intan permata qur’ani, disejajarkan dengan hamba yang bergerak menuju medan perang.[13] Bahkan Rasulullah saw. memberikan informasi kepada Abu Dzar yang sungguh sangat menggiurkan kita untuk menata langkah guna menggapai nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam Al-Qur’an itu. Informasi beliau adalah : “Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya keluarmu di pagi hari untuk mempelajari satu ayat dari kitab Allah, itu lebih baik bagimu dari salat seratus rakaat. Dan keluarmu di pagi hari untuk mempelajari ilmu, satu bab dari ilmu pengetahuan, diamalkan atau tidak, itu lebih baik bagimu dari salat seribu rakaat”.[14] Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang memberikan motivasi kepada kita agar menggali lautan Al-Qur’an, antara lain adalah : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”.[15] Ayat lain : “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mengerti dapat memikirkan”.[16]

Di sisi lain, dalam Al-Qur’an terdapat anjuran memikirkan, mengkaji dan meneliti alam semesta __ yang juga termasuk ayat-ayat Allah yang lazim disebut dengan ayat kauniah __ atau lebih tepat kita katakan sebagai anjuran melakukan research. Firman Allah : “”Maka apakah mereka tidak memikirkan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?[17] Perlu diketahui, bahwa Allah sekali-kali tidak merasa malu membuat pemisalan atau metafora, untuk mengajarkan kepada manusia tentang kebesaran-Nya. Firman Allah : “Sesunggunya Allah tidak segan-segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau lebih rendah daripada itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar datang dari Tuhan mereka…..”[18]

3
Mahir mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan kita sehari-hari. Kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber pedoman hidup harus dipahami dan selanjutkan diamalkan dengan penuh keyakinan, bahwa Allah akan memberikan kenikmatan yang penuh berkah. Rasulullah saw. memberikan informasi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib : “Barangsiapa membaca Al-Qur’an dan memliharanya dengan cara mengamalkan kandungannya, Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga, dan kepadanya diberikan syafaat (pertolongan) untuk sepuluh orang penghuni rumahnya”.[19]

Membaca sabda Nabi di atas sangat jelas, bahwa mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an tidak hanya memberikan manfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga memberikan manfaat bagi orang lain. Dalam sabda yang lain Rasulullah saw. menegaskan : “Barangsiapa membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isi kandungannya, maka di hari kiamat nanti akan dipakaikan mahkota kepada kedua orang tuanya, yang cahayanya lebih indah dari cahaya matahari di rumah-rumah dunia”.[20]

Apabila kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mahir membaca, memahami dan mengamalkan Al-Qur’an, berarti kita telah berada dalam medan perjuangan untuk menjadi ahli-ahli Al-Qur’an yang akan mendapatkan pengakuan Allah sebagai keluarga-Nya, serta akan mendapatkan perlakukan istimewa dalakm menggapai rido-Nya. Rasulullah saw. Bersabda : “Sesunggunya Allah mempunyai keluarga dari kalangan manusia, Mereka bertanya : Wahai Rasulullah! Siapaka mereka itu? Beliau menjawab : Mereka itu adalah ahli Al-Qur’an, itulah keluarga Allah dan orang-orang istimewa-Nya”.[21]

Sungguh sangat rugi, bila janji Allah dan Rasul-Nya tidak kita respon positif, Marilah kita terus berjuang menjadi hamba Allah yang ahli Al-Qur’an. Selama perjuangan terus berlangsung, pasti Allah akan membukakan pintu meraih sukses dan rido-Nya pasti akan dilimpahkan buat kita 






[1]. Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa, Ibnu Saurah Al-Tirmidzi, jilid 5, Dar Al- Kutub Al-Ilmiah, Beirut, Lebanon, 1977 M / 1408 H, hal. 180.
عن عبد الله بن عمرٍو قال : قلتُ : يا رسولَ اللهِ فِيْ كَم أقرَأُ القرﺁنَ؟ قال : اَخْتِمْهُ في شَهْرٍ. قلتُ : إِنِّيْ أُطِيْقُ أفضلَ مِن ذلك. قال : اَخْتِمْهُ في عِشْرِيْنَ. قلتُ : إِنِّيْ أُطِيْقُ أفضلَ مِن ذلك. قال : اَخْتِمْهُ في خَمسةَ عشرَ. قلتُ : إِنِّيْ أُطِيْقُ أفضلَ مِن ذلك. قال : اَخْتِمْهُ في عَشْر. قلتُ : إِنِّيْ أُطِيْقُ أفضلَ مِن ذلك. قال : اَخْتِمْهُ في خَمْسٍ. قلتُ : إِنِّيْ أُطِيْقُ أفضلَ مِن ذلك. قال : فَمَا رَخَّصَ لِيْ - رواه الترمذي
[2]. Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Sajastani, Sunan Abu Daud, jilid1, Dar Al-Fikr, Beirut Lebanon, 1994 M / 1414 H, hal. 340.
عن ابي هريرة عن النبي r قال : ما اجتمع قومٌ في بيتٍ مِنْ بيوتِ اللهِ يتلونَ كتابَ اللهِ ويتدارسون بينهم إلاَّ نزَلت عليهم السكينةُ وحفَّتْهُم الملائكةُ وذكرهم الله ُ فيمن عنده - رواه ابو داود
[3]. Ibid, jilid 1, hal. 340
عَنْ عَائِِشَةَ عن النبي r قال : الذي يقرءُ القرﺁنَ وهو ماهرٌ به مع السّفرةِ الكِرم البررةِ، والذي يقرأه وهو شاقٌّ عليه فله اجران - رواه ابو داود
[4]. QS. Al-Ankabut [29] : 69
[5]. QS. Al-Muzammil [73] : 4
[6]. Saurah Al-Tirmidzi, jilid 5, Op cit, hal. 163.
عن عبد الله بن عمرٍو عن النبي r قال : يُقَالُ لصاحب القرﺁن "اِقرَأْ وارتَقِ ورتِّل كما كنتَ تُرتِّلُ في الدنيا فان منـزلتَك عندَ ﺁخرِ ﺁيةٍ تقرأ بِها - رواه الترمذي
[7]. QS. Yunus [10] : 57, Al-Isra’ [17] : 82, dan Fush-Shilat [41] : 44
[8]. Abu Daud, Op cit, jilid 1, hal. 343
عن البَّرَّاءِ بن عازِبٍ قال : قال رسول الله r : زيِّنوا القرﺁنَ باصواتكم - رواه ابو داود

[9]. Sunan Al-Tirmidzi, jilid 5, Op cit, hal. 138.
عن ابي موسى الأشعري قال : قال رسول الله r : مثل المؤمن الذي يقرأ القرﺁنَ كمثل الأُتْرُجَّةِ ريحها طيب وطعمها طيب, و مثل المؤمن الذي لا يقرأ القرﺁنَ كمثل التمرة لا ريح لَها وطعمها حُلوٌ, , و مثل المنافق الذي يقرأ القرﺁنَ كمثل الرَّيْحانة ريحها طيب وطعمها مر, و مثل المنافق الذي لا يقرأ القرﺁنَ كمثل الحنظلة ريحها مُرٌّ وطعمها مر - رواه الترمذي
[10]. Ibid, jilid 5, hal 145
عن ابي هريرة ان رسول الله r قال : لاتجعلوا بيوتكم مقابر وإن البيت الذي تقرأ فيه البقرة لا يدخله الشيطان - رواه الترمذي
[11]. Ibid, jilid 5, hal 162
عن ابن عباس قال : قال رسول الله r : إن الذي ليس في جوفه شيء من القرﺁنَ كا البيت الْخَرِبِ- رواه الترمذي
[12]. Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, jilid1, Dar Ahya’ Al-Kutub Al- Arabiah Al-Babi Al-Halabi, tanpa tahun, hal.23
عن جندب بن عبد الله قال كنا مع النبي r ونحن فتيان حَزَاوِرَةٌ فتعلَّمْنا الإيمانَ قبل أن تعلَّمْنا القرﺁنَ, ثم تعلَّمْنا القرﺁنَ, فازدَدْنا به ايمانا – رواه ابن ماجه
[13]. Renungkan firman Allah QS. At-Taubah [9] : 122
[14]. Sunan Ibnu Majah, jilid1, Op cit, hal. 79
عن ابي ذرٍّ قال : قال لي رسول الله r : يا ابا ذرٍّ! لأن تغدوا فتعلم ﺁ يةً من كتاب الله خيرٌ لك من ان تصلي مائةَ ركعةٍ. و لأن تغدوا فتعلم بابا من العلم عُمِلَ به اولم يُعْمَلْ خيرٌ لك من ان تصلي الفَ ركعةٍ– رواه ابن ماجه

[15]. QS. Muhammad [47] : 24
[16]. QS. Shad [38] : 29
[17]. QS. Al-Ghasyiyah [88] : 17 - 20
[18]. QS. Al-Baqara [2] : 26
[19]. Sunan Ibnu Majah, jilid1, Op cit, hal. 78
عن علي ابن ابي طالب قال : قال رسول الله r : من قرأ القرﺁنَ وحفظه ادخله الله الجنة وشفعه في عشرة من اهل بيته – رواه ابن ماجه

[20]. Abu Daud, Op cit, jilid 1, hal. 340
عن سهل ابن معاذ الجهني عن ابيه ان رسول الله r قال : من قرأ القرﺁنَ وعمل لما فيه البس والداه تاجا يوم القيامة ضوؤه احسن من ضوء الشمس في بيوت الدنيا- رواه ابو داود
[21]. Sunan Ibnu Majah, jilid1, Op cit, hal. 78
عن انس بن مالك قال : قال رسول الله r : إن ِلله أهلين من الناس, قالوا : يا رسول الله! من هم؟ قال : هم اهل القرﺁن, هم اهل الله وخاصته– رواه ابن ماجه

MACAM-MACAM NAFSU

Oleh:
H.Sirajuddin Syamsul Arifin Noer

Ahli Tashawwuf membagi nafsu kepada beberapa tingkatan, antara lain yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah :

1. Nafsu Ammarah adalah nafsu yang suka menyuruh kepada kejahatan, seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53 :
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan (Ammarahh Bissu’), kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.
(QS. Yusuf [12] : 53)

2. Nafsu Lawwamah adalah berjuang antara kebaikan dan kejahatan, bila berbuat kebaikan menyesal kenapa tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau berbuat kejahatan, lebih sangat menyeasal lagi, .seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 2 :
Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali
(Lawwamah) dirinya sendiri.
(QS. Al-Qiyamah [75] : 2)

3. Nafu Musawwilah adalah nafsu yang pandai menipu, sehingga kejahatan tampak sebagai suatu kebaikan, seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 83 dan 18 :
Ya'qub berkata : "Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan yang buruk (Musawwilah) itu.
(QS. Yusuf [12] : 83 dan 18)

4. Nafsu Muthmainnah adalah nafsu yang tenteram, tenang, aman dan damai dalam mengingat Allah dan menjalankan perintah-Nya. seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Fajr ayat 27.

Hai jiwa yang tenang (Muthmainnah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.
(QS. Al-Fajr [89] : 27-30)

Makna Filosofis Huruf Alif

oleh : Sirajuddin Syamsul Arifin

Banyak perintah Allah. yang menganjurkan kita merenung __ tadabbur __ atau memikirkan makna-makna ayat Al-Qur’an. Diantaranya adalah : “Maka apakah mereka tidak memikirkan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”[1] Dalam firman di atas, Allah swt. tidak menggunakan kalimat berita __ kalam khabari __ yang langsung dapat ditangkap tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu, akan tetapi justru menampilkaan kalimat dalam bentuk pertanyaan retorik, yaitu sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, namun memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam firman tersebut sebenarnya Allah sedang memberikan dorongan kepada kita agar selalu berjuang untuk mencari mutiara-mutiara indah yang tersebar dalam lautan Al-Qur’an. Dalam firman tersebut seolah-olah Allah menegaskan : “Semestinya mereka itu berjuang sungguh-sungguh merenungkan makna-makna kandungan Al-Qur’an, dan janganlah hatinya dibiarkan terkunci”. Allah memberikan ancaman dengan neraka jahannam bagi hamba-hamba-Nya yang sebenarnya mempunyai hati, namun tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata, namun tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, mempunyai telinga, namun tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu dipandang lalai oleh Allah dan diposisikan seperti binatang ternak yang tidak mampu berpikir karena memang tidak dikaruniai akal.[2]

Untuk menemukan mutiara-mutiara indah dari Al-Qur’an yang menjadi pedoman dalam mengarungi semudera kehidupan di alam fana ini, seharusnya kita banyak tadabbur sebagai salah satu wujud perjuangan dan bukti adanya apresiasi __ penghargaan __ yang tinggi terhadap kitab suci yang kita miliki. Begitu banyaknya mutiara-mutiara indah dalam lautan Al-Qur’an, maka satu kali kita berpikir akan menemukan satu jenis intan permata, dua kali kita berpikir akan menemukan jenis intan permata yang lain, dan demikian seterusnya. Dalam Al-Qur’an, Allah. menggambarkan banyaknya intan permata yang amat indah itu dengan bahasa metaforis atau pemisalan sebagai media pendidikan bagi hamba-hamba-Nya, agar terbiasa merenungkan kebesaran-Nya melalui firman-firman-Nya, seperti makna ayat berikut ini : “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut lagi sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[3]

Apabila kita mencoba merenungkan makna-makna kandungan Al-Qur’an, dan memulai dari huruf-hurufnya yang dikenal dengan huruf hijaiyah, yang Al-Qur’an sendiri menyatakaan sebagai kitab suci yang diturunkan dengan bahasa Arab,[4] maka akan kita temukan intan permata yang sungguh sangat mengagumkan dan dapat dijadikan sarana dalam perjuangan meraih rido Allah. Dalam huruf hijaiyah, “Alif” berada pada urutan pertama yang dilambangkan dengan garis vertikal __ garis lurus dari atas ke bawah __ atau sama dengan angka satu dalam urutan nomor dan tidak dapat menerima harakat __ tanda baca __. Dan apabila Alif itu menerima harakat, maka statusnya berubah menjadi “Hamzah”.[5] Mengapa demikian, ada mutiara apa yang dapat ditemukan dalam huruf Alif itu?. Untuk menjawab pertanyaan di atas, marilah kita merenung dan berpikir dengan mempersandingkan makna filosofis huruf Alif dengan ayat-ayat Al-Qur’an.

Makna pertama. Alif merupakan satu-satunya huruf hijaiyah yang dilambangkan dengan garis vertikal dan berada pada urutan pertama dengan bentuk angka satu. Di sinilah, Alif lalu seirama dengan makna “Ahad” yang berarti satu, seperti yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an surat Al-Ikhlas, yang menegaskan kemurnian ke-Mahaesaan Allah.[6] Inilah essensi ajaran islam yaitu ajaran “tauhid”. Dengan demikian menjadi jelaslah, bahwa dalam huruf Alif mengandung informasi kepada kita, bahwasanya Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah dan Dia pula satu-satunya tempat kita memohon pertolongan.[7] Inilah yang disebut tauhid “Uluhiyah” Dan Dia pulalah satu-satunya yang menciptakan dan memelihara alam semesta beserta segala isinya.[8] Inilah yang disebut tauhid “Rububiyah”.[9] Keyakinan akan kemahaesaan Allah inilah yang mesti ditanamkan dengan mantap ke dalam lubuk hati kita, sehingga tidak gampang tumbang terhempas angin badai, dan tidak mudah tersesat jatuh ke lubang syirik yang oleh Allah dinyatakan sebagai dosa yang tidak diampuni.[10]

Makna ke-dua. Ketika huruf Alif kita posisikan sebagai makhluk ciptaan Allah, maka di atas Alif akan ditemukan titik agung yaitu sang Maha Pencipta Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, yang dalam bahasa Al-Qur’an dikenal dengan “Al-‘Aliyyu Al-‘Azhiimu” yang kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi,[11] rahmat-Nya melampaui segala sesuatu,[12] dan nur cahaya-Nya amat indah menerangi alam semesta.[13] Allah Maha Tingggi dan Maha Agung. Kita boleh berusaha meraih kedudukan yang tinggi, mendapatkan ilmu yang banyak, dan memperoleh sejuta macam harta kekayaan, akan tetapi semu itu berada dalam genggaman Allah,[14] keagungan ada di tangan-Nya dan kemuliaan adalah milik-Nya.[15] Dia bisa berbuat apa saja sesuai kehendak-Nya. Dia Maha Agung, yang keagungan-Nya tidak dapat dijangkau hanya dengan penglihatan mata jasmaniah, tetapi juga harus memfungsikan mata batiniah, sehingga kita dapat merasakan keagungan-Nya. Dalam perjalanan hidup, kita sudah terbiasa menggunakan mata fisik untuk melihat ke luar diri kita, sehingga sulit merasakan keagungan-Nya. Hal ini terjadi, karena mata hati kita telah menjadi buta. Allah berfirman : “ Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang berada dalam rongga dada”.[16] Untuk itulah Rasululla saw. mengingatkan kita agar senentiasa merenungkan ciptaan-Nya. Dan dalam perenungan yang menyelinap sampai ke relung hati itulah akan ditemukan keagungan-Nya.

Makna ke-tiga. Pada bagian teratas huruf Alif akan kita temukan titik atas, yang merupakan bagian yang terdekat dengan titik agung, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut “Al-Muqarrabun”, yaitu orang-orang yang dekat kepada Allah,[17] mereka hidup dengan penuh kedamaian, dan kelak akan mendapatkan kenikmatan yang melimpah dalam surga sebagai wujud kasih sayang-Nya. Keadaan mereka digambarkan dalam kitab suci : “Mereka itulah orang-orang yang di dekatkan kepada Allah, mereka berada dalam surga kenikmatan,[18] berada di atas dipan yang bertah-tahkan emas dan permata, [19] dikelilingi anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan sloki berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, [20] dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan, dan didampingi bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik”.[21] Begitulah indahnya kenikmatan yang akan diraih Al-Muqarrabun, sehingga pantaslah kiranya kita merebut posisi itu dengan cara memantapkan tauhid, mengikhlaskan ibadah dan menyuburkan akhlak karimah.

Makna ke-empat. Pada bagian terbawah huruf Alif dapat kita temukan pula titik bawah yang merupakan bagian terjauh dengan titik agung, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut “Asfala Safiliina”[22] yaitu orang-orang yang berada pada tingkat terbawah, karena telah hilang ciri utamanya sebagai manusia, yaitu akal. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Mujahid, Abu Al-‘Aliyah, Al-Hasan dan Ibnu Zaid ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan “Asfala Safiliina” adalah neraka.[23] Kemudian kita bertanya, siapa gerangan yang akan menempati posisi “Asfala Safiliina” itu?. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Allah dalam firman-Nya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga, tetaapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.[24]

Dalam riwayat yang lain dikemukakan bahwa firman Allah “Tsumma Radadnaahu Asfala Saafiliina” (QS.At-Tin [95] : 5) adalah kembali ke tingkat pikun, yaitu manusia yang akal sehatnya telah hilang atau kembali seperti bayi yang baru lahir. Demikianlah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Al-‘Ufi yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, Suatu ketika Rasulullah ditanya tentang kedudukan orang yang telah pikun. Pertanyaan tersebut dijawaab oleh Allah dengan menurunkan ayat selanjutnya, yaitu Al-Qur’an surat .At-Tin [95] ayat 6 yang menegaskan bahwa mereka yang beriman dan beramal saleh sebelum pikun __ hilang akalnya __ akan mendapat pahala yang tidak putus-putus.[25]

Hanya karena persoalan tidak berfungsinya akal sesuai kehendak Allah, manusia bisa disetarakan dengan seekor binatang ternak, bukan dalam kapasitasnya sebagai “bahan baku daging potong”, tetapi kesetaraan itu dalam sikap atau tingkah laku dan nilai kualitas hidup sebagai hamba Allah. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya, semestinya selalu bersyukur kepada-Nya, yang telah menciptakan kita dalam bentuk yang paling sempurna.[26] Manakala syukur itu diabaikan, ketahuilah, bahwa azab Allah akan datang.[27] Syukur itu harus ditampilkan dalam bentuk sikap patuh dan tunduk kepada-Nya, karena semua apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya dan semuanya tunduk kepada-Nya.[28] Dia berkuasa atas segala sesuatu, dan kekuasaan-Nya tergambar dalam rekaman firman-Nya : “Katakanlah : Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[29]

Rasulullah saw. memberikan sebuah nasehat yang sangat populer, agar kita selalu merenung atau berpikir : “Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berpikir tentang zat Allah sang Maha Pencipta, karena kamu tidak akan sanggup mengetahui kadar-Nya”.[30]

Makna ke-lima. Ketika kita merenung kembali tentang huruf Alif yang tidak pernah menerima harakat, maka lalu kita ingat akan ke-Mahaan Allah yang tidak pernah menerima pemberian, karena Dia adalah Maha Pemberi[31] __ Al-Wahhab __ , Dia berdiri sendiri, tidak berhajat kepada yang lain __ Al-Qiyamu binafsih __ bahkan Dialah yang secara terus menerus mengurus makhluk-Nya.[32] Berkaitan dengan posisi Allah sebagai sang Maha Pemberi, terdapat sebuah kisah dari salah seorang sahabat Nabi bernama Abdullah ibnu Mas’ud. Dalam kisahnya beliau bercerita : “Apabila kami menegakkan ibadah salat bersama Nabi, kami membaca do’a yang artinya : ‘Semoga salam sejahtera dilimpahkan kepada Allah dari hamba-Nya, dan juga kepada si Fulan dan si Fulan’. Lalu Nabi bersabda dengan nada teguran : Janganlah kalian megucapkan : ‘Semoga salam sejahtera dilimpahkan kepada Allah, karena sesungguhnya Allah-lah pemilik dan pemberi salam sejahtera itu’. Tetapi ucapkanlah : ‘Segala kehormataana adalah kepunyaan Allah, demikian pula rahmat dan kebaikan itu. Salam sejahtera, rahmat Allah dan berkah-Nya semoga dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Salam sejahtera semoga juga dilimpahkan kepada kita dan hamba-hamba Allah yang saleh’. Karena apabila kalian mengucapkan kalimat ini pasti mengenai setiap hamba di langit atau setiap hamba antara langit dan bumi. Seterusnya beliau mengumandangkan kalimat tauhid : ‘Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang pantas disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad utusn Allah’ . Kemudian beliau berdo’a dengan memilih salah satu do’a yang disukainya”.[33]

Kalau Allah itu Maha Pemberi, maka makhluk ciptaan-Nya itulah yang menerima pemberiaan-Nya. Allah memberi sesuatu kepada hamba-Nya tidak membutuhkan ucapan terima kasih apalagi imbalan, tetapi hamba itu wajib bersyukur kepada-Nya, karena ia sangat membutuhkan pemberian-Nya dan Dia telah memberinya tanpa pamrih. Manusia yang senantiasa menerima anugerah Allah, tetapi enggan untuk bersyukur, kita umpamakan dengan huruf Alif yang menerima tanda baca __ harakat __ , yang statusnya kemudian berubah menjadi “hamzah”. Kata “Hamzah” adalah bentuk tunggal dari kata “Hamazaatun”[34] yang berarti “godaan” atau “bisikan” yang dapat menjatuhkan manusia ke lembah dosa. Manusia akan selalu menjadi sasaran bujuk rayuan setan, sehingga Allah mengajarkan sebuah do’a kepada kita, agar terhindar dari godaan-godaan atau bisikan-bisikan __ “Hamazaatin” __ yang dilancarkan oleh setan. Do’a tersebut diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an yang artinya : “Dan katakanlah : Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan”.[35]

Menerima pemberian Allah adalah hak manusia, namun manusia wajib bersyukur kepada-Nya. Allah berjanji akan menambah nikmat karunia-Nya bagi setiap hamba-Nya yang bersyukur. Dan akan memberikan azab yang amat pedih bagi hamba-Nya yang kufur (tidak bersyukur).[36] Manusia yang tidak bersyukur atau kita sebut dengan kufur nikmat, berarti ia telah berkiblat kepada bujuk rayuan setan, sehingga jatuh ke dalam perbuatan nista dan dosa, akibatnya akan terlempar ke dalam jurang azab yang menghinakan. Renungkan firman Allah berikut ini : “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya,[37] Allah akan melaknatnya di dunia dan akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan”.[38] Manusia tidak akan pernah ada yang mampu menghindar dari azab-Nya, kecuali hanya karena rahmat dan kasihsayang-Nya.

Makna ke-enam. Kata “Alif” dalam bahasa Arab antara lain berarti “mengasihi” senada dengan arti “Rahmah”. Di sisinlah, kita dapat membuka tabir informasi dari huruf Alif, bahwa Allah memiliki sifat kasih sayang yaitu Rahman dan Rahim. Rasulullah saw. mengingatkan kita agar selalu berakhlak dengan akhlak Allah Yang Maha Kasih dan Maha Sayang, yang kasih-Nya tiada pilih kasih dan sayang-Nya tiada pandang sayang. Demikianlah seharusnya dalam mengarungi kehidupan di alam fana ini, sehingga mampu menemukan kedamaian dan kasih sayang dalam hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Makna ke-tujuh. Ketika kita memandang huruf Alif dengan pandangan yang jernih, akan kita temukan sisi kanan dan sisi kiri yang sama, lalu kita sandingkan temuan itu dengan bahasa Al-Qur’an, maka kita akan mampu menangkap mutiara-mutiara indah yang nilainya sangat tinggi. Sisi kanan dalam Al-Qur’an disebut dengan golongan kanan atau “Ashhabu Al-Yamin”,[39] yaitu hamba-hamba Allah yang taat dan patuh mengikuti ajaran-Nya. Dan sisi kiri dalam Al-Qur’an disebut dengan golongan kiri atau “Ashhabu Al-Syimal”,[40] yaitu hamba-hamba Allah yang mengingkari ajaran-Nya. Di sinilah nitralitas huruf Alif dapat kita temukan. Alif yang mempunyai arti “mengasihi”, maka sisi kanan dan sisi kiri, keduanya mendapatkan kucuran kasih. Ketika Alif kita terjemahkan dengan Allah, maka kasih Allah akan mengalir kepada manusia yang beriman __ golongan kanan __ dan juga mengalir kepada manusia yang kafir __ golongan kiri __ , semuanya menerima kasih-Nya sebagai wujud sifat rahman-Nya yang meliputi segala sesuatu.

Makna ke-delapan. Ketika huruf Alif disambung dengan huruf lain, maka hanya dapat disambung ke arah kanan sebagai lambang kebenaran dan keadilan. Allah swt. akan selalu berpihak kepada kebenaran dan keadilan, dan akan bertindak seadil-adilnya. Dia akan memberikan balasan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya yang berbuat baik dan berkiblat kepada kebenaran. Demikian pula sebaliknya, Allah akan memberikan balasan keburukan kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan keburukan dan berkiblat kepada kebatilan.

Huruf Alif yang hanya dapat disambung ke arah kanan sebagai lambang kebenaran dan keadilan, memberikan informasi kepada kita, bahwa pelakunya akan mendapatkan kenikmatan yang dapat mengantarkan menuju kebahagian yang sesungguhnya, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya, huruf Alif yang tidak dapat disambung ke arah kiri sebagai lambang kejahatan, juga memberikan informasi kepada kita, bahwa pelakunya akan diganjar dengan azab yang penuh penderitaan. [41] Oleh karena itu, apabila kita masih cenderung ke arah kiri, atau mungkin masih berada di sebelah kiri, segeralah berbalik dan berlari menuju ke arah kanan untuk menikmati hidanngan Allah, yaitu hidayah,[42] sehingga rahmat kasih sayang-Nya, dua-duanya dapat kita raih, yaitu kasih sayang-Nya di masa kini dan masa mendatang sebagai kebahagiaan jangka panjang yang abadi di akhirat kelak.

Kalau rahmat Allah belum kita rasakan, bukan karena rahmat-Nya yang terbatas, akan tetapi karena kita sering kali menutup rahmat itu. Ada sebuah ilustrasi : Cahaya matahari dapat menerangi alam semesta. Tetapi dalam hutan yang lebat, cahayanya dapat tertutupi oleh lebatnya dedaunan, sehingga pepohonan di bawahnya tidak tertembus cahaya. Hal itu terjadi bukan karena keterbatasan cahaya matahari, tetapi karena lebatny dedaunan yang ada di hutan itu sendiri. Kalau kita belum merasakan adanya rahmat Allah, mungkin karena kita menutup diri, mungkin karena dosa-dosa kita masih selebat dedaunan di hutan, dan mungkin juga karena kita masih setia bergandengan dengan sifat-sifat hewani, sehingga rahmat kasih sayang-Nya tiada terasa. Mahabenar Allah lagi Mahaluas ilmu-Nya 

[1] QS. Muhammad [47] : 24, dan ayat yang senada QS. An-Nisa’ [4] : 82
[2] Baca QS. Al-A’raf [7] : 179
[3] QS. Luqman [31] : 27
[4] QS. Asy-Syu’ara’ [26] : 195, Yusuf [12] : 2, Thaha [20] : 113, Al-Ahqaf [46] : 12,- dll.
[5] Al-Munjid, Dar El-Masyriq, Beirut, Lebanon, cetakan ke-27, 1984, hal. 1
[6] Surat Al-Ikhlas termasuk salah satu surat dalam Al-Qur’an yang berada pada urutan ke-112, terdiri dari 4 ayat, yang artinya : 1. Katakanlah : Dialah Allah Yang Mahaesa, 2. Allah adalah tempat meminta, 3. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, 4. Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia.
[7] Senada dengan makna surat Al-Fatihah ayat 5, yang artinya : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.
[8] Senada dengan makna surat Al-Fatihah ayat 2, yang artinya : “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. Tuhan semesta alam adalah terjemahan dari “Rab Al-‘Aalamina”. Rab berarti : Tuhan yang dita’ati Yang Memiliki, Mendidik dan Memelihara. Al-‘Aalamina berarti semesta alam yaitu semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai macam jenis, seperti alam manusia, alam binatang, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Semua itu adalah ciptaan Allah.
[9] Penjelasan tauhid Rububiyah dan Uluhiyah, dapat dibaca dalam sebuah kitab yang disusun oleh : Abdul Aziz El-Ruwais dan Ibrahim El-Sulaiman, berjudul “Muqarrar Al-Tauhid Wal-Fiqh Wa Al-Tahdib”, untuk kelas 1, Wizarah Al-Ma’arif Al-Mudiriyah Al-‘Ammah lil-Abhats wal-Manahij wal-Mawaddah Al-Ta’limiyah, Al-Mamlakah Al-‘Arabiah Al-Su’udiyah, cetakan ke-3, 1977 M / 1397 H, hal. 11 - 12
[10] QS. An-Nisa’ [4] : 116
[11] QS. Al-Baqarah [2] : 255, dikenal dengan ayat kursi.
[12] QS. Al-A’raf [7] : 156
[13] QS. An-Nur [24] : 35
[14] QS. Az-Zumar [39] : 67
[15] QS. Fathir [35] : 10
[16] QS. Al-Hajj [22] : 46
[17] QS. Waqi’ah [56] : 11
[18] QS. Waqi’ah [56] : 12
[19] QS. Waqi’ah [56] : 15
[20] QS. Waqi’ah [56] : 17 - 18
[21] QS. Waqi’ah [56] : 20 - 23
[22] QS. At-Tin [95] : 5
[23] Al-Imam Al-Fakhru Al-Razy, Tafsir Al-Kabir, jilid 11, Dar Ihya’ Al-Turats, Beirut, Lebanon, 2001 M / 1422 H, hal. 213,- dan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, karya Imadu Al-Din Abu Al-Fida’ Ismail bin Katsir, Syirkah AlNur, Asia, tanpa tahun, hal. 527.
[24] QS. Al-A’raf [7] : 179
[25] KH.Qamaruddin Shalih, H.A.A. Dahlan, Drs. M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul, CV. Diponegoro, Bandung, 11974, hal. 581- dan lihat pula karya Imam Al-Syuyuthi, Asbabbun-nuzul, Dar Al-Fajr Litturats, Kaero, 2002/1423, hal. 461.

[26] QS. At-Tin [95] : 1 - 8
[27] QS. Ibrahim [14] : 7
[28] QS. Al-Baqarah [2] : 116
[29] QS. Ali ‘Imran [3] : 26
[30] Hadis Nabi berbunyi :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ r : تَفَكَّرُوْا فِى الْخَلْقِ وَلاَ تَفَكّرُوْا فِى الْخَالِقِ فَاِنَّكُمْ لاَ تَقْدِرُوْنَ قَدْرَهُ.
[31] QS. Ali ‘Imran [3] : 8, Shad [38] : 35
[32] QS. Ali ‘Imran [3] : 2
[33] Mughirah bin Bardizbah, Shahih Al-Bukhari, jilid 1, Dar Al-Fikr, Beirut, tanpa tahun, hal. 203, dengan hadis yang berbunyi ;

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : كُنَّا اِذَا كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ r فِى الصَّلاَةِ قُلْنَا : اَلسَّلاَمُ عَلَى اللهِ مِنْ عِبَادِهِ اَلسَّلاَمُ عَلَى فَلاَنٍ وَفُلاَنٍ فَقَال النَّبِيُّ r لاَ تَقُوْلُوْا اَلسَّلاَمُ عَلَى اللهِ فَاِنَّ اللهَ هُوَ السَّلاَمُ وَلَكِنْ قُوْلُوْا : "اَلتَّحِيَّاتُ ِللهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَيِّبَاتُ، اّلسَّلاَمَ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ". فَاِنَّكُمْ اِذَا قُلْتُمْ اَصَابَ كُلَّ عَبْدٍ فِى اسَّمَاءِ اَوْ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ. اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ – وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. ثُمَّ يَتخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ اَعْجَبَهُ اِلَيْهِ فَيَدْعُوْا. رواه البخاري

[34] Al-Munjid, op cit, hal. 873
[35] QS. Al-Mu’min [23] : 97
[36] QS. Ibrahim [14] : 7
[37] Menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maksudnya adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridoi Allah dan tidak dibenarkan Rasul-Nya, seperti kufur, mendustakan kenabian dan sebagainya.
[38] QS. Al-Ahzab [33] : 57
[39] QS. Waqi’ah [56] : 27
[40] QS. Waqi’ah [56] : 41
[41] QS. Waqi’ah [56] : 27 - 55
[42] QS. Ash-Shaffat [37] : 99