Sabtu, 22 Maret 2008

AIR MATA TOBAT

Suatu ketika Umar bin Khattab datang kepada Rasulullah saw. sambil menangis tersedu-sedu. Melihat Umar menangis dengan wajah yang sangat sedih, Rasulullah saw, heran lalu bertanya : Apa gerangan yang menyebabkan engkau menangis wahai sahabatku? Umar menjawab : Di pintu rumahku ada seorang anak muda yang sedang menangis dengan suara yang sangat keras. Begitu sedih tangisnya, sehingga hatiku terbakar larut dalam kesedihan karenanya. Mendengar jawaban Umar, beliau bersabda : Wahai sahabatku, cobalah hadapkan dia kepadaku. Memenuhi permintaan beliau, Umar pulang menjemput anak muda itu. Dia kembali menghadapnya dengan membawa anak muda yang masih terus menangis dengan sangat sedihnya. Begitu anak muda tersebut tiba di hadapan Rasulullah, beliau bersabda : Wahai anak muda! Masa depanmu masih panjang. Apa gerangan yang menyebabkan engkau menangis seperti ini? Dengan kepala tertunduk, anak muda itu menjawab: Tangisku adalah tangisan dosa ya Rasulullah. Begitu besar dosaku kepada Allah, sehingga aku takut akan murka-Nya serta murka utusan-Nya. Beliau terdiam sejenak lalu bertanya : Wahai anak muda! Apakah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu? Tidak, jawab anak muda itu. Beliau bertanya lagi : Apakah engkau membunuh orang tanpa hak? Pemuda itu menggelengkan kepala. Selanjutnya Beliaumemberikan harapan dengan sabdanya : Kalau begitu, Allah akan mengampuni dosamu walaupun besarnya sepenuh tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Pemuda itu tercengang dan berkata : Dosaku lebih besar dari tujuh lapis langit dan gunung-gunung yang tinggi ya Rasulullah. Beliau bertanya lagi : Dosamukah yang lebih besar atau kursi Allah? Pemuda itu memberikan jawaban dengan pasti : Dosaku lebih besar ya Rasulullah. Beliau bertanya lagi : Apakah dosamu lebih besar dari Arsy Allah? Pemuda itu menjawab sambil terus menangis tersedu-sedu : Saya yakin dosaku lebih besar ya Rasulullah. Beliau menyampaikan pertanyaan terakhirnya : Apakah dosamu lebih besar juga dari Allah dan rahmat kasih sayang-Nya? Pemuda itu berpikir sejenak lalu menjawab : Allah dan rahmat kasih sayang-Nya lebih besar ya Rasulullah. Selanjutnya beliau bersabda : Kalau begitu, ceritakanlah perbuatan dosamu itu. Pemuda itu berkata : Aku malu kepadamu ya Rasulullah. Beliau bersabda : Kenapa mesti malu kepadaku? Janganlah engkau punya perasaan demikian. Ceritakanlah wahai anak muda. Akhirnya anak muda itu berkisah dimulai dengan perlahan-lahan mengangkat kepala menghadap ke arah Rasulullah, lalu ia berkata : Wahai kekasih Allah, sejak usiaku mencapai tujuh tahun, pekerjaanku membongkar kuburan orang-orang yang baru meninggal dunia dan aku mencuri kain kafannya. Pada suatu hari ada seorang gadis anak salah seorang sahabat Anshar meninggal dunia. Begitu selesai dikuburkan dan makam sudah sepi, aku bongkar kuburannya, lalu aku tukar kain kafannya. Anak itu adalah seorang gadis yang sangat cantik dan tampaknya betul-betul masih perawan. Aku tergoda oleh nafsu birahi tersesat. Aku terseret oleh bujuk rayuan setan. Aku segera kembali ke kuburan dan mayat itu aku setubuhi. Dalam keadaan begitu, terdengarlah suara, seolah-olah gadis itu menjerit, mengoyak jantungku. “Wahai anak muda! Apakah engkau tidak malu di pengadilan Allah?. Pada hari itu, hak orang yang teraniaya dituntutkan atas penganiayanya. Betapa kejam hatimu membiarkan aku telanjang bulat di tengah-tengah lingkungan orang-orang mati. Engkau membuat aku junub di hadapan Allah, padahal aku sudah dimandikan dan disalatkan”. Inilah perbuatan dosa yang sangat besar ya Rasulullah. Sejak hari itu aku menangis terus menerus sampai detik ini.

Mendengar kisah anak muda, serta merta Rasulullah bangkit menghardiknya dengan marah sambil memalingkan muka karena jijik, seraya berkata : Hai fasik! Pergilah engkau dari hadapanku. Tidak ada balasan yang setimpal bagimu kecuali neraka. Menyimak hardikan Rasulullah, anak muda itu pergi terhuyung-huyung seraya meratap. Ia berkeliaran di tengah-tengah padang pasir, tujuh hari tujuh malam tidak makan, tidak minum dan sama sekali tidak tidur. Mukanya ditelungkupkan terus menerus bersujud di atas pasir, baik pada saat siang hari terik matahari menusuk, maupun dikala dinginnya hawa malam telah datang. Dia menangis kepada Allah sambil mengadu : Ya Allah, aku adalah hamba-Mu yang penuh noda dan dosa. Kesalahanku amat besar yang tiada terkira. Aku telah datang ke pintu rumah utusan-Mu agar beliau sudi memberi syafaat dihadapan-Mu kelak. Namun begitu mendengar kisah perbuatan dosaku yang amat keji itu, beliau berpaling karena muak dan jijik mendengarnya. Aku diusir mentah-mentah. Kini aku datang menghadap-Mu ya Allah, aku mengetuk pintu ampunan-Mu agar Engkau berkenan mengampuni dosaku dan memberikan syafaat di hadapan utusan-Mu. Tidak putus-putusnya harapanku kepada-Mu Yang Mahakasih dan Mahasayang. Andaikata Engkau juga tidak sudi menurunkan tirai ampunan-Mu, turunkanlah api membelah langit. Bakarlah aku dengan api-Mu di dunia fana ini sebelum aku dibakar di akhirat nanti.

Mendengar ratapan anak muda yang sungguh-sungguh itu, Allah mengutus malaikat Jibril __ Ruh qudus __ kepada Rasulullah. Kepada beliau, malaikat Jibril menyampaikan salam Allah, yang kemudian dijawabnya dengan ucapan : “Huwas salam, wa minhus salam wa ilaihi yarji’us salam” (Dialah yang memberi keselamatan, dari Dialah datang keselamatan, dan kepada Dia pulalah kembali keselamatan).

Ada beberapa pertanyaan yang datang dari Allah disampaikan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw. yaitu : Wahai Muhammad! Apakah engkau yang menciptakan hamba-hamba-Ku? Beliau terkejut mendengar pertanyaan tersebut, lalu menjawab : Allah-lah yang menciptakan diriku dan menciptakan mereka. Jibril menyampaikan pertanyaan lagi : Apakah engkau yang berkuasa memberi rezeki kepada mereka? Beliau bertambah kaget, lalu menjawab : Sama sekali tidak, Allah-lah yang berkuasa memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada diriku. Jibril menyampaikan pertanyaan lagi : Apakah engkau yang berhak menerima tobat dan menghapuskan segala dosa dan kesalahan? Beliau menjawab : Tidak. Allah yang punya kuasa atas segala sesuatu. Dia-lah yang berhak menerima tobat dan Dia pula yang berhak mengampuni dosa dan keselahana hamba-hamba-Nya.
Selanjutnya, malaikat Jibril menyambung dengan pesan Allah berikutnya : Allah berfirman kepadamu : “Telah Ku kirimkan salah seorang hamba-Ku kepadamu, dan dia telah memaparkan dosa-dosanya dengan sikap penyesalan yang sangat mendalam, kenapa engkau berpaling dengan sikap yang begitu menyakitkan? Bagaimana nanti seandainya datang hamba-hamba-Ku yang lain sambil memikul tumpukan dosa yang menggunung? Engkau Ku utus agar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Janganlah kau terlantarkan hamba-hamba-Ku yang tergelincir kakinya kelembah dosa”.

Mendengar teguran langsung dari Allah, Rasulullah saw. sadar akan kekeliruannya. Beliau lalu menyuruh para sahabatnya mencari pemuda itu. Setelah beberapa lama para sahabat mencarinya, akhirnya pemuda itu ditemukan tengah bersujud dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Kepadanya disampaikan kabar gembira, bahwa dosanya telah diampuni. Para sahabat beramai-ramai membawa pemuda itu kehadapan Rasulullah. Beliau sangat gembira melihat umatnya telah mendapatkan rahmat kasih sayang Allah dengan rido dan ampunan-Nya.

Pada waktu itu, beliau melakukan salat meghrib. Para sahabat dan pemuda itu berbaris dalam saf yang tertib menjadi makmum di belakangnya. Tatkala Rasulullah saw. sedang membaca surat At-Takatsur setelah surat Al-Fatihah, pada ayat yang berbunyi “Hatta zurtumul maqaabir” terdengarlah jeritan yang keluar dari mulut pemuda itu, ternyata dia telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, menghadap Allah Yang Mahakasih dan Mahasayang.[i]

Kisah di atas memberikan informasi kepada kita, bahwa sebesar apapun dosa seseorang, apabila ia bertobat dengan sungguh-sungguh yang disertai adanya kesadaran diri serta meneteskan air mata tobat, menangis kepada Allah memohon ampunan-Nya, pasti dosanya akan diampuni. Tobat yang demikian itu dalam Al-Qur’an dikenal dengan ”tobat nashuuha” , yaitu tobat yang semurni-murninya, dibarengi adanya kejujuran dan keikhlasan, sehingga setelah bertobat ia tidak akan kembali kepada perbuatan dosa lagi.[ii] Allah menyeru kita dalam fiman-Nya : Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kamu kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya (nashuuha), mudah-mudahan Tuhan kami akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”.[iii]

Allah Yang Maha Pengampun selalu membuka pintu tobat dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi semua hamba-Nya yang hendak meraih kembali kesucian seperti yang telah diperoleh pada saat baru dilahirkan dari rahim seorang ibu. Allah membuka pintu tobat sepanjang masa. Dari malam hari hingga terbit matahari. Dan dari terbit matahari hingga fajar terbit kembali.

Suatu ketika Abu Musa berkisah, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya Allah telah membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima tobat dari kesalahan dan dosa yang dilakukan pada siang hari, dan membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat dari keselahan dan dosa yang dilakukan pada malam hari hingga matahari terbit dari tenggelamnya”.[iv] Dalam kitab suci Al-Qur’an diilustrasikan : “Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat. Dan bahwasanya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” [v]

Kata tobat dalam keseharian sering kita dengar, yang dalam bahasa Indonesia berarti “kapok” atau “jera”, sehingga tidak berani lagi melakukan perbuatan yang sama, karena merasa sangat kecewa oleh perbuatan yang telah dikerjakan itu. Arti ini senada dengan sabda Rasulullah saw. : “Kapok itu adalah tobat”.[vi]

Dalam bahasa Arab, kata tobat berasal dari kata “ta-wa-ba” yang salah satu artinya adalah “kembali”. Arti ini senada dengan maksud firman Allah dalam kitab suci Al-Qur’an : “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut[vii] (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku”.[viii] Oleh karena itu, kata tobat mengandung pengertian penggambaran sebuah aktivitas yaitu gerak kembali kepada kesucian (fitrah). Gerak kembali itu didorong oleh fitrah manusia yang bersumber dari hati nurani yang selalu mengajak untuk mencintai kebaikan. Fitrah itu tidak akan pernah berubah, sebagaimana yang diilustrasikan dalam kitab suci Al-Qur’an : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. [ix] Dengan demikian, maka hakikat tobat adalah aktivitas yang fitri atau natural, yakni gerak alami kembali kepada Allah sebagai asal atau sumber kesucian.

Allah sebagai tempat kembali dan sumber segala kesucian menegaskan dalam sebuah hadis qudsi yang dikisahkan oleh Abu Dzar ia berkata, Rasulullah saw. bersabda : Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman : “Wahai hamba-hamba-Ku! Kamu sekalian pelaku dosa kecuali orang yang Aku ma’afkan. Mintalah ampunan kepada-Ku, maka akan Aku berikan ampunan kepadamu. Barangsiapa di antara kamu yakin bahwa Aku mempunyai kekuasaan memberikan ampunan, lalu ia memohon ampunan kepada-Ku, maka dengan kekuasaan-Ku itu, Aku berikan ampunan kepadanya. Kamu sekalian tersesat kecuali orang yang Aku beri hidayah (bimbingan). Mintalah hidayah kepada-Ku, maka akan Aku berikan hidayah kepdamu. Kamu sekalian fakir kecuali orang yang telah Aku jadikan kaya. Mintalah kepada-Ku, maka akan Aku berikan rezeki kepadamu. Walaupun yang hidup dan yang mati, yang dahulu dan yang akhir, yang basah dan yang kering di antara kamu berhimpun dalam hati seorang hamba yang paling bertakwa dari hamba-hamba-Ku, sedikitpun tidak akan dapat menambah kekuasaan-Ku. Demikian pula, walaupun di antara kamu berhimpun dalam diri seorang hamba yang paling celaka (durhaka) dari hamba-hamba-Ku, sedikitpun tidak akan dapat mengurangi kekuasaan-Ku. Dan walaupun yang hidup dan yang mati, yang dahulu dan yang akhir, yang basah dan yang kering di antara kamu berhimpun, lalu setiap orang yang meminta di antara mereka tidak tercapai cita-citanya, tidak akan dapat mengurangi kekuasaan-Ku, kecuali ada seseorang di antara kamu yang melewati tepi pantai, lalu ia membenamkan jarum ke dalamnya, kemudian dengan mudah ia dapat mencabutnya (mengambilnya). Hal yang demikian itu, karena sesungguhnya Aku Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Pemberian-Ku adalah seperti dalam firman-Ku. Apabila Aku menghendaki terjadinya sesuatu, hanya Aku katakan kepadanya : Jadilah! maka ia akan terjadi".[x]

Suatu ketika Anas bin Malik berkisah : Saya mendengar Rasulullah bersabda : Allah berfirman : “Hai anak cucu Adam! Sesungguhnya apa yang engkau mohon dan engkau harapkan kepada-Ku tentang pengampunan dosa yang ada padamu, pasti akan Aku berikan ampunan buatmu, dan Aku tidak peduli sebesar apapun dosa itu. Hai anak cucu Adam! Andaikata dosa-dosamu sepenuh awan di langit, lalu engkau memohon ampunan kepada-Ku, pasti Aku berikan ampunan buatmu, dan Aku tidak peduli sebesar apapun dosa itu. Hai anak cucu Adam! Sesungguhnya, andaikata engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, lalu engkau menemui Aku dengan tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku akan menyambutmu dengan ampunan sepenuh bumi”. [xi]

Bertobat adalah salah satu ciri orang yang beriman. Ia segera ingat kepada Allah dan memohon ampunan-Nya apabila ia telah tergelincir dalam perbuatan noda dan dosa. Dalam kitab suci Al-Qur’an diilustrasikan : “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji[xii] atau menzalimi dirinya sendiri,[xiii] mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”.[xiv]

Dan sebaliknya, salah satu ciri orang yang zalim adalah sikap tidak mau bertobat atau dirinya tidak mau mengakui melakukan perbuatan dosa, sebagaimana diilustrasikan dalam kitab suci Al-Qur’an berkenaan dengan larangan memperolok-olokkan atau menghina orang lain : “….. dan barangsiapa yang tidak bertobat maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.[xv]

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh untuk dapat mencapai derajat “tobat nashuuha”, yaitu :
1.
Hendaklah terlebih dahulu menyadari bahwa dirinya telah melakukan perbuatan dosa dan tidak memiliki kemampuan untuk menghapuskan noda-noda hitam itu kecuali menyerahkan kepada Allah (taslim fi Allah). Di sini makna tobat lalu menjadi paralel dengan arti islam yang berarti pasrah atau berserah diri.
2.
Harus memiliki hati yang suci dan bersih __ qalbun salim [xvi] __ yaitu jauh dari sifat-sifat tercela seperti riya __ingin disanjung dan dipuji __, membanggakan diri atau sombong dan sifat-sifat tercela lainnya. Sebab Allah hanya akan menerima orang yang datang kepada-Nya dengan hati yang ikhlas untuk mendapatkan rido-Nya.
3.
Memperbanyak memohon ampunan Allah __ beristighfar __ dengan tulus dan ikhlas seperti yang dicontohkan Rasulullah saw. Meskipun beliau telah dijanjikan surga dan terpelihara dari dosa __ ma’shum __ beliau terus bertobat, memohon ampunan Allah dalam sehari tidak kurang dari seratus kali. Hal ini tergambar dalam rekaman sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertobat kepada-Nya dalam satu hari sebanyak seratus kali”. [xvii] Dalam hadis lain yang dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Abbas, Rasulullah saw. bersabda : “Barangsiapa yang selalu beristighfar (memohon ampunan kepada Allah), maka Allah akan menjadikan baginya kelapangan dari setiap kesulitan, jalan keluar dari setiap kesempitan dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka”.[xviii] Pada kesempatan lain Rasulullah saw. bersabda : “Berbahagialah orang-orang yang banyak beristighfar dalam lembaran hidupnya”.[xix]
4.
Memiliki sikap optimisme dengan prasangka positif terhadap Allah, serta adanya harapan dan keyakinan yang mantap bahwa dosanya akan diampuni setelah menyadarinya dengan penuh kejujuran dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi. Allah akan bertindak sesuai prasangka hamba-Nya sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah : “Aku (Allah) adalah seperti yang diprasangkakan hamba-Ku terhadap-Ku”.[xx]
5.
Hendaknya selalu berjuang membiasakan diri melakukan aktivitas yang dapat memberikan manfaat atau perbuatan-perbuatan baik sesuai ketentuan Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Dalam kitab suci Al-Qur’an Allah menegaskan, bawa perbuatan-perbuatan yang baik itu akan menghapuskan dosa-dosa yang diakibatkan perbuatan buruk.

Suatu ketika Ibnu Mas’ud berkisah : Ada seorang laki-laki telah mencium seorang wanita, lalu mendatangi Nabi saw. dengan menuturkan peristiwa yang telah terjadi”. Berkenaan dengan peristiwa tersebut, turunlah firman Allah yang artinya : “Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan dari pada malam.[xxi] Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu akan menghapus (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”.[xxii] Setelah ayat ini turun ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah : Untuk siapakah berlaku masalah ini ya Rasulullah? Beliau menjawab : Untuk semua orang yang mengamalkannya dari umatku.[xxiii] Disinilah, bahwa tobat itu di samping merupakan pencerminan atau refleksi sikap positif bagi orang yang membuat kesalahan atau dosa karena dosanya diampuni Allah, juga merupakan sikap produktif karena Allah berjanji akan mengganti dengan kebaikan-kebaikan. [xxiv]

Amalan orang yang menjalankan tobat biasanya memperbanyak “tasbih” __ Subhaana Allah __, yakni menyucikan Allah dengan harapan dapat kembali kepada kesucian, karena selama itu kita diasumsikan telah berprasangkan buruk kepada Allah, sehingga hidup kita keluar dari aturan-aturan-Nya, yang akhirnya mengantarkan kita hidup dengan penuh noda dan dosa. Selanjutnya memperbanyak “tahmid” __ Alhamdu li Allah __, yakni memuji Allah dengan harapan tertanam keikhlasan semata-semata mencari rido Allah, bukan karena riya (ingin disanjung atau dipuji). Kemudian memperbanyak “tahlil” __ laa ilaaha illa Allah __ yakni berikrar bahwa tiada Tuhan yang pantas disembah selain Allah, yaitu kalimat tauhid yang berada di atas segala kalimat. Dengan kalimat tauhid itu, kita berusaha memantapkan keyakinan dalam dada kita, bahwa sesungguhnya hanya Allah-lah yang dapat memberikan hidup, mati, rezeki, ampunan. Dan hanya Dia pulalah yang dapat menerima tobat dan memberikan segala sesuatu kepada siapa-pun sesuai kehendak-Nya. Dan juga memperbanyak suara “takbir” __ Allahu akbar __, mengagungkan dan membesarkan nama Allah Yang Mahabesar dan berada di atas segala yang besar. Karena diasumsikan kita telah bersikap sombong kepada Allah dengan melalaikan aturan-Nya. Kemudian kita harus bertekad untuk menjadi hamba-Nya yang taat dan patuh kepada-Nya. Dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Samurah bin Jundub ditegaskan bahwa empat kalimat tersebut termasuk yang paling dicintai Allah, paling utama dan sangat mendasar dalam usaha meraih kembali kesucian.[xxv]

Lalu berdo’a memohon ampunan Allah atas segala dosa dengan memperbanyak “istighfar” __ Astaghfiru Allah __. Firman Allah : “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata : Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do’a hamba-Nya)”.[xxvi]

Kalimat tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar seperti tersebut di atas adalah sebagai berikut dan dilanjutkan dengan do’a :

١- سُبْحَانَ اللهِ, وَالْحَمْدُ ِللهِ, وَلاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ, وَاللهُ اَكْبَرُ, اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظَيْمَ +
Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan yang pantas disembah selain Allah dan Allah Maha Besar, aku memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Besar.

٢ - اَلّلهُمَّ اَنْتَ رَبِّيْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ, خَلَقْتَنِيْ وَاَنَا عَبْدُكَ وَاَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَاسْتَطَعْتُ, اَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ, اَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ, وَاَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَاِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلاَّ اَنْتَ +
Ya Allah! Engkau Tuhanku, tiada Tuhan yang pantas disembah selain Engkau, Engkau telah menciptakan aku, aku adalah hamba-Mu, dan aku terikat janji dengan-Mu yang aku laksanakan sesuai kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui limpahan nikmat-Mu yang Engkau berikan kepadaku, dan aku mengakui pula dosaku, ampunilah aku, karena tiada yang dapat mengampuni dosa-dosa itu selain Engkau.[xxvii]

٣ - اَلّلهُمَّ لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ +
Ya Allah! tiada Tuhan yang pantas disembah selain Engkau. Engkau Maha Suci dan dengan memuji-Mu, wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku, ampunilah dosaku, karena sesungguhnya Engkau sebaik-baik pengampun.

٤- اَلّلهُمَّ لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَارْحَمْنِيْ فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ +
Ya Allah! tiada Tuhan yang pantas disembah selain Engkau. Engkau Maha Suci dan dengan memuji-Mu, wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku, limpahkan rahmat kasih sayang-Mu, karena sesungguhnya Engkau sebaik-baik pemberi rahmat.

٥- اَلّلهُمَّ لاَاِلهَ اِلاَّ اَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ تُبْ عَلَيَّ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ +
Ya Allah! tiada Tuhan yang pantas disembah selain Engkau. Engkau Maha Suci dan dengan memuji-Mu, wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku, terimalah tobatku, karena sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat dan Maha Penyayang.[xxviii]

٦- رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ + Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kasih sayang kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang rugi.

[i]. Abdurrahman Arroisi, Da’wah dalam persaudaraan, Diktat, tanpa tahun, hal. 6-8
[ii]. Abi Bakr Ahmad bin Husen bi Ali Al-Baihaqi, Al-Sunan Al-Kubra, jilid 10, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Beirut- Lebanon, 1999M/1420H. hal. 260.
عَنْ عُمَر بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ فَيْ قَوْلِهِ عز وجل "تُوْبُوْا اِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوْحًا" [التحريم : ٨] قَالَ : هُوَ الرَّجُلُ يَعْمَلُ الذَّنْبَ ثُمَّ لاَ يَعُوْدُ اِلَيْهِ ]رواه البيهقي [
[iii]. QS. At-Tahrim [66] : 8
[iv]. Shahih Muslim, jilid 2, Sulaiman Mara’i, Pinang, Singapura, tanpa tahun, hal. 496.
عَنْ اَبِيْ مُوْسَى قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r اِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُوْلُ : اِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِالَّليْلِ لِيَتُوْبَ مَسِيْءَ النَّهَارِ وَ يَبْسُطُ يَدَهُ لِيَتُوْبَ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مَسِيْءَ الَّليْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا ]رواه مسلم [
[v]. QS. At-Taubah [9] : 104
[vi]. Al-Baihaqi, jilid 10, Op cit, hal. 259.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ فَقَالَ اَهُ اَبِيْ : اَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ r ؟ قَالَ : نَعَمْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ r يَقُوْلُ : "اَلنَّدَمُ تَوْبَةٌ" ]رواه البيهقي [
[vii]. Thaghut adalah setan dan apa saja yang disembah selain Allah.
[viii]. QS. Az-Zumar [39] : 17
[ix]. QS. Ar-Rum [30] : 30
[x]. Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, jilid 2, Dar Ihya’ Al-Kutubi Al;-Arabiyah, Al-Babi Al-Halabi, tanpa tahun, hal. 1422.
عَن اَبِيْ ذَرٍّ قال: قال رسولُ الله r اِنَّ الله تبارك وتعالى يقولُ : يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ مُذْنِبٌ اِلاَّ مَنْ عَافَيْتُ, فَسَلُوْنِيْ الْمَغْفِرَةَ فَاَغْفِرَ لَكُمْ. وَمَنْ عَلِمَ مِنْكُمْ اَنِّيْ ذُوْ قُدْرَةٍ عَلَى الْمَغْفِرَةِ فَاسْتَغْفَرَنِيْ بِقُدْرَتِيْ غَقَرْتُ لَهُ. وَكُلُّكُمْ ضَالٌّ اِلاَّ مَنْ هَدَيْتُ, فَسَلُوْنِيْ الْهُدَى أَهْدِكُمْ. وَكُلُّكُمْ فَقِيْرٌ اِلاَّ مَنْ اَغْنَيْتُ, فَسَلُوْنِيْ اَرْزُقْكُمْ. وَلَوْاَنَّ حَيَّكُمْ وَمَيِّتَكُمْ وَاَوَّلَكُمْ وَ آخِرَكُمْ وَرَطْبَكُمْ وَيَابِسَكُمْ اِجْتَمَعُوْا فَكَانوْا عَلَى قَلْبِ اَتْقَى عَبْدٍ مِنْ عِبَادِيْ لَمْ يَزِدْ فِيْ مُلْكِيْ جَنَاحُ بَعُوْضَةٍ. وَلَوِ اجْتَمَعُوْا فَكَانُوْا عَلَى قَلْبِ اَشْقَى عَبْدٍ مِنْ عِبَادِيْ لَمْ يَنْقُصْ مِنْ مُلْكِيْ جَنَاحُ بَعُوْضَةٍ. وَلَوْاَنَّ حَيَّكُمْ وَمَيِّتَكُمْ وَاَوَّلَكُمْ وَ آخِرَكُمْ وَرَطْبَكُمْ وَيَابِسَكُمْ اِجْتَمَعُوْا, فَسَأَلَ كُلُّ سَائِلٍ مِنْهُمْ مَا بَلَغَتْ اُمْنِيَّتُهُ - مَا نَقَصَ مِنْ مُلْكِيْ اِلاَّ كَمَا لَوْاَنَّ اَحَدَكُمْ مَرَّ بِشَفَةِ الْبَحْرِ فَغَمَسَ فِيْهَا اِبْرَةً ثُمَّ نَزَعَهَا. ذَالِكَ بِاَنِّيْ جَوَادٌ مَاجِدٌ. عَطَائِيْ كَلاَمٌ. اِذَا أَرَدْتُ شَيْئًا فَاِنَّمَا اَقُوْلُ لَهُ : كُنْ فَيَكُوْنُ ] رواه ابن ماجه [
[xi]. Ibnu Saurah, Abi Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan Al-Tirmidzi, jilid 5, Daru Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon, 1977 M/1408 H, hal. 521.
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ r يَقُوْلُ : قَالَ اللهُ : يَابْنَ آدَمَ اِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَافِيْكَ وَلاَ اُبَالِيْ. يَابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ اُبَالِيْ. يَابْنَ آدَمَ لَوْ اَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تَشْرِكُ بِيْ شَيْئًا َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً ] رواه الترمذي [
[xii]. Yang dimaksud dengan perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba dan lain sebagainya.
[xiii]. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik besar maupun kecil.
[xiv]. QS. Ali-‘Imran [3] : 135
[xv]. QS. Al-Hujurat [49] : 11
[xvi]. QS. Ash-Shaffat [37] : 84 dan Asy-Syu’araa’ [26] : 89
[xvii]. Op cit, Sunan Ibnu Majah, jilid 2, hal. 1254
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قال رسولُ الله r اِنِّيْ َلأَسْتَغْفِرُ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةً ]رواه ابن ماجه [
[xviii]. Ibid, hal. 1255
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r : مَنْ لَزِمَ اْلإِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا, وَمِنْ كُلِّ ضَيْقٍ مَخْرَجًا, وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ ]رواه ابن ماجه [
[xix]. Ibid, hal 1254
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عِرْقٍ قَالَ : سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنِ بُسْرٍ يَقُوْلُ : قالَ النَّبِيُّ r طُوْبَى لِمَنْ فِيْ صَحِيْفَتِهِ اِسْتِغْفَارًا كَثِيْرًا ]رواه ابن ماجه [
[xx]. Hussein Bahreisy, Himpunan Hadis Pilihan, Shahih Bukhari, Al-Ikhlas, Surabaya, 1980, hal. 63
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r قَالَ اللهُ تَعَالَى : اَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ ]رواه البخاري[
[xxi]. Salat pada kedua tepi siang naksudnya adalah pada tepi yang pertama adalah salat subuh dan pada tepi yang kedua adalah salat zhuhur dan ashar. Dang yang dimaksud dengan salatpada bahagian permulaan malam adalah salat maghrib dan isya’.
[xxii]. QS. Hud [11] :114
[xxiii]. Op cit, Shahih Muslim, jilid 2 hal. 497
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ رَجُلاً اَصَابَ مِنِ امْرَأَةٍ قُبْلَةً فَاَتَى النَّبِيَّ r فَذَكَرَ ذَالِكَ لَهُ قَالَ فَنَزَلَتْ " اَقِمِ الصَّلاَ ةَ طَرَفَيْ النَّهَارَ وَزُلَفًا مِنَ الَّيْلِقلى اِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِقلى ذَالِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِيْنَ " ]رواه مسلم [
[xxiv]. QS. Al-Furqan [25] : 70
[xxv]. Op cit, Sunan Ibnu Majah, jilid 2, tanpa tahun, hal. 1253
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ : اَرْبَعٌ اَفْضَلُ الْكَلاَمِ لاَ يَضُرُّ بِاَيِّهِنَّ بَدَأْتَ : سُبْحَانَ اللهِ, وَالْحَمْدُ ِللهِ, وَلاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ, وَاللهُ اَكْبَرُ ]رواه ابن ماجه [
[xxvi]. QS. Hud [11] : 61
[xxvii]. Ibid, hal. 1274. Do’a ini dikenal dengan nama “Syayyidul istighfar” (Tuannya istighfar).
[xxviii]. Do’a ini termasuk di antara kalimat-kalimat tobat yang diturunkan Allah kepada Nabi Adam, sebagaimana yang dikisahkan oleh Abi Najih yang bersumber dari Mujahid. Hal ini berdasarkan firman Allah : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima topbatnya. Sesunggunya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah [2] : 37) (Lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Syirkah Al-Nur, Asia, tanpa tahun, hal, 81)
[29]. QS. Al-A’raf [7] : 23

PAKAIAN TAQWA

Suatu ketika Rasulullah saw. masuk pasar, ditemani oleh Abu Hurairah ra. dengan niat hendak membeli sehelai baju yang agak pantas beliau pakai. Dalam perjalanan akan keluar dari pasar, beliau mendengar suara seorang pemuda berseru : “Barangsiapa yang sudi memberiku sehelai baju, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Hai dermawan! Berilah aku baju, semoga Allah memberi gantinya buat kamu”. Pemuda itu tidak mengetahui, bahwa Rasulullah saw. berada di dekatnya. Setelah pemuda itu mengucapkan seruan yang kedua kalinya, Rasulullah saw. sampai di tempat pemuda itu berdiri, lalu beliau serahkan dasar baju yang baru dibelinya itu dengan ikhlas, tanpa ada pertimbangan panjang lebar lagi.[1]

Masalah sandang merupakan salah satu persoalan yang menyangkut kebutuhan pokok manusia. Rasulullah saw. dan pemuda dalam kisah di atas, berusaha mendapatkan pakaian untuk memenuhi salah satu kebutuhan pokoknya. Hal itu dilakukan, karena mereka memahami betul manfaatnya yang sangat penting dalam hidupnya. Dasar baju yang baru saja Rasulullah saw. beli diserahkan kepada pemuda dengan hati yang bersih, karena beliau mengetahui bahwa pemuda itu lebih membutuhkannya. Baju adalah salah satu jenis pakaian yang dibutuhkan manusia. Pakaian tidak hanya berkaitan dengan etika dan estetika, tetapi juga dengan sosial ekonomi, budaya, iklim, dan bahkan agama. Menurut ajaran agama islam, berpakaian hanya diwajibkan bagi umat manusia, sehingga tidak keliru kalau dikatakan, bahwa manusia adalah “makhluk yang wajib berpakaian”.

Manfaat pakaian sungguh sangat besar dalam hidup ini, antara lain adalah untuk memelihara kulit dari sengatan panas, cuaca dingin dan dari segala sesuatu yang dapat mengganggu jasmani. Hal ini diilustrasikan dalam kitab suci Al-Qur’an : “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas, dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya)”.[2]

Dalam bahasa Arab terdapat kata “tsaw-bun” yang berarti baju atau pakaian. Ketika kata itu dikembangkan keluarlah kata “tsawaa-bun” yang berarti “pahala”. Dari arti bahasa ini mudah dipahami, bahwa pakaian dapat membuahkan pahala. Untuk itu perlu kiranya diketahui, bahwa pahala merupakan dampak positif dari segala aktivitas yang berlandaskan iman dan takwa, yang dalam jangka panjang akan mendatangkan kebahagiaan dan kedamaian. Atau dengan kata lain, pakaian yang memiliki nilai-nilai keimanan dan ketakwaan akan mendatangkan dampak positif berupa kebaikan-kebaikan, dan yang terbaik akan diberikan dalam kehidupan jangka panjang yang abadi di sisi Allah. Renungkan rekaman firman Allah : “Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala yang datang dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui”.[3]

Dari berbagai macam bentuk pakaian, maka pakaian yang dibuat dan dipakai berdasarkan iman dan takwa itulah yang akan menjadi sarana untuk meraih rido Allah. Dalam kitab suci Al-Qur’an ditemukan kalimat “Libaasut-taqwa”, yang terdiri dari dua kata, yaitu “Libaasun” yang berarti “pakaian” dan berasal dari kata “La-bi-sa” yang berarti “memakai”. Ketika dikembangkan timbul kata “Albasa” yang berarti “menutupi”. Dan kata yang kedua adalah “Al-Taqwa” yang salah satu artinya adalah memelihara atau menjaga diri dari hal-hal yang tidak disukai Allah. Disinilah, kata “Libaasut-taqwa” kita artikan dengan “pakaian takwa” yang berfungsi untuk memelihara atau menjaga diri dari sikap atau perbuatan yang dapat menjatuhkan ke dalam jurang nista dan dosa, dengan cara memakai pakaian yang dapat menutupi yang tidak pantas kelihatan __ termasuk menutupi bagian-bagian anggota tubuh, yang biasa kita kenal dengan sebutan “aurat” __. Demikianlah yang dinamakan “pakaian takwa” menurut pendapat Abdurrahman bin zaid bin Aslam dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir.[4] Marilah kita renungkan rekaman firman Allah : “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”.[5] Sungguh sangat beruntunglah hamba yang memilih baju atau pakaian yang dibentuk dan dipakainya berlandaskan iman dan takwa, karena ia telah berkiblat kepada kebenaran yang datang dari Allah.

Ada fungsi lain dari pakaian yaitu sebagai hiasan yang menambah keindahan bagi pemakainya. Hal ini dapat dipahami dari kalimat dalam terjemahan di atas yang berbunyi : “pakaian indah untuk perhiasan” yang merupakan terjemahan dari kata “Riisyun” ( رِيْشٌ) yang arti asalnya adalah “bulu burung” atau “pakaian yang sangat bagus”. Seekor burung yang beraneka ragam warna bulunya selalu tampak indah, sehingga mampu menarik perhatian setiap mata yang memandangnya, karena keindahannya yang menggoda. Tampilan itu bukanlah menurut kehendak burung itu sendiri, tetapi berjalan sesuai sunnatullah __undang-undang atau aturan-aturan Allah__, sehingga keindahannya asli dan lebih abadi. Manusia sebagai hamba pilihan yang dimuliakan Allah, seharusnya mampu memilih bentuk pakaian dan berpakaian sesuai sunnatullah, bukan hanya sekedar mengikuti selera manusia itu sendiri, sehingga dapat tampil indah __ salah satu arti ihsan __[6] menurut pandangan Allah dan indah pula menurut pandangan manusia. Hal ini tentu dapat diwujudkan hanya oleh hamba Allah yang bertakwa kepada-Nya, karena sikap takwa itu mesti dibuktikan dengan menjalankan perintah dan meninggalkan laranagn-Nya dalam mengarungi kehidupan di alam fana ini. Dan jiwa takwa inilah yang akan membentuk manusia berakhlak mulia yang menjadi ciri khas orang yang beriman, yaitu orang yang tulus menerima kebenaran yang datang dari Allah. Rasulullah saw. memberikan informasi kepada kita, bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.[7]

Kata “aurat” pada ayat tersebut adalah terjemahan dari kata “saw-aatun” (سَوْءَاتٌ ) yang merupakan perkembangan dari kata “suu- un” (سُوْءٌ ) yang mempunyai arti keji, buruk, cacat dan jahat. Dan kata “aurat” itu sendiri, sebenarnya diambil juga dari bahasa Arab, yang berasal dari kata “ ’awira ” ( عَوِرَ ) yang berarti “buta sebelah mata”. Kemudian kata tersebut berkembang menjadi “ ‘awaarun” ( عَوَارٌ ) yang berarti cacat, cela dan aib. Dari uraian di atas, dapat dipahami, bahwa aurat adalah sesuatu yang mesti ditutupi dan tidak baik dibuka atau dilihat karena berpotensi untuk menimbulkan perbuatan keji dan tercela, baik bagi pelaku maupun bagi orang yang melihatnya. Dan orang yang suka membuka auratnya adalah tergolong hamba yang cacat dan tercela karena hanya melihat dengan sebelah mata, yaitu mata fisik jasmaniah, sementara mata ruhaniahnya buta, tidak dapat melihat, sehingga tidak mampu merespon positif hukum ketentuan Allah. Renungkan secara lebih mendalam firman Allah berikut ini : “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu (mata jasmaniah) yang buta, tetapi yang buta adalah hati di dalam dada”. [8]

Semua yang kita tampilkan di muka bumi, termasuk bentuk pakaian dan cara kita berpakaian serta akibat dari pakaian yang kita kenakan, selalu berada dalam pengawasan Allah dan akan tercatat serta tersimpan dengan rapi dalam buku induk di Lauh Al-Mahfuzh. Demikian pula akibatnya, jika dampaknya baik __ menurut aturan Allah __ terhadap diri dan lingkungannya, maka akan dicatat sebagai kebaikan, dan demikian pula sebaliknya. Allah swt. telah memberikan informasi kepada kita sebagaimana yang diilustrasikan dalam kitab suci Al-Qur’an : “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas (akibat) yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Al-mahfuzh)”. [9]

Pakaian takwa menurut Qatadah dan Ibnu Juraij dalam Tafsir Ibnu Katsir adalah “iman”,[10] yaitu tertanamnya keyakinan akan kebenaran yang datang dari Allah yang tersurat dan tersirat dalam kitab suci Al-Qur’an, dan adanya sikap menerima kebenaran dengan hati yang bersih (qalbun salim), serta dilanjutkan dengan amal saleh. Dan menurut pendapat Ibnu Abbas adalah “amal saleh”, yaitu perbuatan yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul.[11]

Pakaian yang bernuansakan taqwa menunjukkan identitas bagi orang yang beriman sebagai pemakainya, sehingga dapat terpelihara dari gangguan-gangguan tangan jahil. Renungkan firman Allah : “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” Yang demikiamn itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[12]
Bertambah jelaslah bagi kita, bahwa pakaian takwa adalah pakaian yang mencerminkan pribadi orang yang beriman dan bertakwa dan dapat dipertanggung jawabkan dalam kehidupan jangka panjang yang abadi. Pakaian seperti inilah sebenarnya yang dapat mengantarkan pemakainnya menuju kehidupan yang bernuansa surgawi yang penuh dengan kedamaian, keindahan dan kebahagiaan yang abadi dalam naungan rido Allah. Bukan sekedar baik menurut pendangan manusia secara lahiriah yang sering kali tunduk kepada selera hawa nafsu. Dan nafsu itu selalu menggiring manusia kepada kejahatan, kecuali yang dirahmati Allah.[13] Allah swt. mengingatkan kita agar selalu waspada menghadapi serangan yang dilancarkan Iblis dan pengikut-pengikutnya, sebab mereka selalu mengintai dan melihat kita, sementara kita tidak melihat mereka. Cermati firman Allah berikut ini : “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”.[14]

Adalah suatu sikap yang sangat merugikan jika belum merespon positif tuntunan Allah dalam memilih pakaian dan berpakaian. Allah mengingatkan kita dalam kitab suci Al-Qur’an : “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia : Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?. Allah berfirman : Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan. Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal”.[15]

Pakaian takwa adalah pakaian terbaik bagi hamba-hamba Allah yang beriman. Dan apabila kita memakainya dengan hati yang ikhlas, pasti Allah akan selalu mengucurkan rahmat-Nya yang penuh dengan berkah□

[1]. Hamka Prof. Dr. Tafsir Al-Azhar juz IV, Pustaka Panjimas, Jakarta 1983, hal. 20
[2]. QS. An-Nahl [16] :81
[3]. QS. Al-Baqarah [2] : 103
[4]. Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, Dar Al-Kutub Al-Mishriyah, tanpa tahun, hal. 207
[5]. QS. Al-A’raaf [7] : 26
[6]. Ihsan menurut arti bahasa adalah indah dan bagus. Dalam Hadits Nabi ditegaskan : Ihsan adalah hendaklah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika tidak, yakinkan, bahwa sesungguhnya Allah melihatmu.
[7]. Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan Tirmidzi, jilid 5 ,Dar Al-Kutub Al-ilmiah, Beirut, tanpa tahun, hal. 11
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلًَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ مِنْ اَكْمَلِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَاَلْطَفُهُمْ بِاَهْلِهِ (رواه الترمذي)
Dari Aisah ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. (HR.Tirmizi)
[8]. QS. Al-Hajj (22) : 46
[9]. QS. Yasiin [36] : 12
[10]. Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, Op cit, hal. 207
[11]. Ibid.
[12]. QS. Al-Ahzab [33] : 59
[13]. QS. Yusuf [12] : 53
[14]. QS. Al-A’raaf [7] : 27
[15]. QS. Thaha [20] : 124-127

Jumat, 21 Maret 2008

MUHAMMAD RASULULLAH sebagai Uswatun Hasanah

Oleh : H. Sirajuddin Syamsul Arifin Noer

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik (Uswatun Hasanah) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
(QS.Al-Ahzab [33] : 21)

Akhlak Dan Beberapa Sifat Nabi Muhammad
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan “bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu”. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya.
(QS. Ali 'Imran [30 : 159)

- “bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu”, maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
Mentaati Rasul
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi “pemelihara” bagi mereka.
(QS.An-Nisaa' [4] : 80)

- Kami (Allah) tidak mengutusmu untuk menjadi “pemelihara” bagi mereka, maksudnya adalah Rasul tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak berbuat kesalahan.
Tugas Rasulullah
1
Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.
(QS.Al-Maa-idah [5] :99)
2
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan “bahasa kaumnya”,1 supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka
Allah menyesatkan2 siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk
kepada siapa yang dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan yang
Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
(QS.Ibrahim [145] : 4)

1. “bahasa kaumnya”, maksudnya adalah Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu, bukanlah berarti bahwa Al-Qu'an hanya untuk bangsa Arab, tetapi untuk seluruh umat manusia. Untuk itu, kandungan Al-Qur’an mesti dijelaskan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh ummat.
2. Allah menyesatkan, berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. Dalam ayat 26 surat Al-Baqarah, karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, maka mereka itu menjadi sesat.

Materi Da’wah Dan Sumbernya
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu
Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah), serta mengajarkan kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui.
(QS.Al-Baqarah [2] :151

- Ada tiga pokok materi da’wah yang harus disampaikan dan dijelaskan kepada umat manusia, yaitu : 1. Iman (‘Aqidah), 2. Islam (Ibadah-syari’ah), 3. Ihsan (Akhlaq).
- Ada dua sumber pokok materi da’wah, yaitu : 1. Kitabullah, yang terdiri dari ayat Qauliyah berupa kitab suci Al-Qur’an, dan ayat Kauniyah berupa alam semesta. 2. Sunnah Rasul, yang terdiri dari Qauliyah (perkataan), Fi’liyah (perbuatan), dan Taqririyah (ketetapan atau persetujuan Nabi).

Metode Da’wah
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. An Nahl [16] :125)

Ada tiga pokok metode da’wah, yaitu :
1. Hikmah maksudnya adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
(QS. Al-Baqarah [2] : 42)

2. Mau’ihzah Hasanah maksudnya adalah pelajaran yang baik, yaitu materi da’wah disampaikan dengan berimbang antara Indzar (nasehat yang menakutkan, seperti azab neraka) dan Tabsyir (nasehat yang menggembirakan seperti kenikmatan surga).
Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira (Basyiiran) dan pemberi peringatan
(Nadziiran), dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab)
tentang penghuni-penghuni neraka.
(QS. Al-Baqarah [2] : 119)

3. Mujadalah billatii Hiya ahsan maksudnya bantah-bantahan dengan cara yang baik, seperti dialog, tanya jawab, seminar, dan lain sebagainya, dengan sikap saling menghormati, lapang dada dan mudah untuk saling mema’afkan.
Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
(QS.Al-A'raaf [7] : 199)

Isteri-Isteri Rasulullah

1. Khadijah Binti Khuwailid

Khadijah Binti Khuwailid; Khuwailid anak Asad; Asad anak Abdul ‘Uzza; Abdul ‘Uzza anak Qushai, Qushai anak Kilab dari suku Quraisy. Pada zaman Jahiliyah Khadijah diberi gelar “Ath-Thahirah” artinya “Yang Bersih”, karena dia tidak terbawa arus gelombang adat buruk zaman Jahiliyah. Sebelum menikah dengan Rasulullah saw, dia telah menikah dengan seorang lelaki bernama Athiq bin A'ids. Kemudian menikah dengan seorang lelaki bernama “Abu Halah bin Zararah” dan mendapatkan seorang anak bernama “Hindun”. Setelah Abu Halah meninggal, Khadijah dinikahi oleh “Utaid bin Abid” dari Bani Makhzum, dan Utaid bin Abid-pun meninggal. Dengan demikian, Khadijah telah janda 3 kali sebelum menikah dengan Nabi saw.

Suatu ketika hatinya tertarik untuk mengangkat Muhammad bin Abdillah menjadi kepercayaannya membawa harta perniagaannya ke Syam. Harapannya tidak mengecewakan, sebab Muhammad saw, memegang amanah dengan baik, sehingga perdagangannya mendatangkan keuntungan yang amat besar. Dan sepulang dari Syam itulah, Khadijah menyampaikan keingannannya dengan terus terang kepada Muhammd saw, agar sudi menikah dengan dirinya.

Keinginan Khadijah mendapat sambutan Muhammd saw, dan menikahlah Khadijah dengan beliau dalam usia 40 tahun, sedang beliau berusia 25 tahun, dan belum dingkat menjadi Nabi Rasulullah. Setelah diangkat menjadi Nabi Rasulullah, maka Khadijah-lah wanita pertama yang beriman kepada Rasulullah. Ia termasuk salah seorang pengusaha sukses di kota Makkah dan menyumbangkan kekayaannya untuk mensyi'arkan Islam.

Perlu diketahui, bahwa pernikahan Muhammd saw, dengan Khadijah yang sudah janda 3 kali itu adalah bermula dari keinginan Khadijah, bukan bermula dari keinginan beliau, dan bukan beliau pula yang meminangnya. Beliau menerima pinangannya adalah semata-mata untuk menolongnya, agar harta benda Khadijah dan dirinya tidak menjadi permainan laki-laki yang bermata duitan, sebagaimana kebiasaan masyarakat Arab pada waktu itu, yang apabila mereka menikahi seorang janda kaya, maka semua kekayaannya akan dihabiskan tanpa kejujuran, walaupun laki-laki itu hartawan. Perlu diketahui pula, bahwa sebelum Khadijah menikah dengan Muhammd saw, sebenarnya telah beberapa kali dipinang oleh beberapa orang laki-laki Quraisy, tetapi ditolaknya. Dan Khadijah betul-betul memahami adat kebiasaan masyarakat Arab yang tidak baik itu, sehingga ia mengharapkan pertolongan, agar Muhammad bin Abdullah, seorang pemuda Quraisy yang papa sengsara itu, namun terkenal dengan julukan “Al-amin” (yang jujur dan dapat dipercaya), sudi menikahinya. Usia perkawinan mereka mencapai 25 tahun, dan selama itu pula beliau hanya mempunyai seorang isteri, hingga Khadijah wafat.

Khadijah wafat pada tahun ke-10 dari tahun kenabian Nabi Muhammad saw, di kota Makkah dalam usia 65 tahun dan dimakamkan di Makkah.

Setelah Khadijah wafat, Rasulullah saw, dalam kesedihan dan kesepian. Para sahabat merasa kasihan atas kesendirian beliau dan mengharapkan agar beliau menikah lagi, agar dapat terhibur dan dapat meringankan beban penderitaannya karena telah ditinggal pergi untuk selamanya oleh Khadijah Ummul Mu’minin.

Lalu datanglah Khaulah binti Hakim As-Salamiyah, isteri ‘Usman bin Mazh’un menjumpai Rasulullah saw, dan terjadi dialog sebagai berikut :
Khaulah : Ya Rasulullah! Aku melihat tuan dirasuki kehampaan karena kepergian Khadijah.
Rasulullah saw : Benar. Khadijah adalah ibu bagi keluarga dan pengatur rumah tangga.
Khaulah : Apakah tuan tidak mau nikah lagi?
Rasulullah saw : Siapakah yang dapat menggantikan Khadijah?
Khaulah : Ya Rasulullah! Tuan dapat menikahi gadis atau janda.
Rasulullah saw : Siapakah yang gadis itu?
Khaulah : Putri dari seorang yang paling tuan cintai, yaitu ‘Aisyah binti Abu Bakar.
Rasulullah saw : Siapakah yang janda itu?
Khaulah : Saudah Binti Zam’ah Al-Quraisyiyah yang telah beriman kepada tuan dan telah mengikuti tuan dengan benar.
Rasulullah saw : Pergilah engkau, dan terangkanlah keduanya kepadaku.
Demikianlah menurut suatu riwayat yang menerangkan ketika Khadijah telah wafat, dan selanjutnya Rasulullah saw, menikahi Saudah dan ‘Aisyah.

2. Saudah Binti Zam’ah

Saudah Binti Zam’ah Al-Quraisyiyah adalah dari keturunan Lu-ai. Suaminya yang pertama bernama “Sakran bin Amer”, salah seorang sahabat Nabi dari keturunan Lu-ai yang wafat di Makkah sekembalinya hijrah dari Habsyah. Pada Luai itulah bertemu nasabnya dengan Nabi. Beliau menikah dengan Saudah beberapa hari setelah Khadijah meninggal dunia, yaitu pada tahun ke-10 dari tahun kenabian Nabi Muhammad saw, di kota Makkah. Saudah ketika itu telah tua, tidak seberapa selisih umurnya dengan Khadijah. Besar kemungkinan, bahwa pernikahannya lebih banyak ditekankan kepada pemeliharaan rumah tangga karena kematian Khadijah. Setelah Saudah tua dan merasa tidak dapat lagi melayani suami sebagaiamana mestinya, dia hadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah.

Pada waktu kaum muslimin Makkah diperintahkan Nabi hijrah ke Hansyah, maka Saudah ikut hijrah bersama suaminya. Sekembalinya dari Habsyah, tiba-tiba suaminya wafat di Makkah, dan meninggalkan seorang anak bernama “Abdurrahman”. Setelah ditinggal suaminya, Saudah hidup sengsara, karena kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya sangat memusuhi Islam dan kaum Muslimin.

Saudah adalah seorang janda yang hidup sebatang kara dengan tanggungan anak yang masih kecil, dan mendapat rintangan yang begitu hebat dari kedua orang tua dan sauda-saudaranya, sehingga Nabi saw, tidak sampai hati membiarkan seorang janda Muslimah terlunta-lunta. Oleh sebab itu, untuk menyenangkan hatinya yang selalu dirundung duka, dan untuk meringankan penderitaan yang ditanggungnya, serta menghindarkannya dari fitnah yang mungkin akan menimpanya, maka Nabi saw, berusaha menolong dan melindunginya dengan jalan menikahinya.
Dia dapat hidup menjadi isteri beliau dan menyaksikan kewafatan beliau. Dia meninggal setelah tua benar pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.

3. Aisyah Binti Abu Bakar

Aisyah Binti Abu Bakar Bakar Ash-Shiddiq adalah putri sahabat yang paling Nabi cintai, karena jasa-jasanya dalam memperjuangkan Islam. Beberapa hari sesudah Rasulullah saw, menikahi Saudah, maka beliau menikah dengan Aisyah pada bulan Syawal tahun ke-10 Nubuwwat, yaitu 3 tahun sebelum hijrah, dengan memberinya mahar sebanyak 400 dirham. Pada saat itu, Aisyah berusia 6 tahun. Riwayat yang lain mengatakan, ‘Aisyah berusia 7 tahun. Tetapi baru serumah dengan Rasulullah setelah ‘Aisyah berusia 9 tahun. Ketika Rasulullah wafat, Aisyah baru berusia 18 tahun.

Aisyah serumah dengan Rasulullah setelah hijrah ke Madinah dan beliau telah selesai membangun mesjid dan mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshar. Menjelang serumah dengan Rasulullah, Aisyah masih bermain dengan dua orang sahabat perempuannya di bawah pohon kurma, lalu datanglah ibunya yang bernama “Ummi Rauman binti Amir” memintanya agar ia berhenti bermain. Ia dibawa ibunya sampai ke sumur, dibuka ikat rambutnya dan dibersihkan wajahnya dengan air. Kemudian ibunya menemui Rasulullah. Ternyata disana telah berkumpul kaum wanita Anshar yang mempersiapkan segala kebutuhan Aisyah. Ia adalah isteri beliau yang paling muda usianya ketika dinikahi, dan isteri beliau satu-satunya yang dinikahi dalam keadaan dara (perawan).

Aisyah dengan Rasulullah tidak mempunyai keturunan. Oleh karena itu ia meminta izin kepada beliau untuk memakai kunyah (gelar) dengan panggilan “Ummi Abdillah”, diambil dari nama Abdullah bin Zubair bin Awwam. Ibu Abdullah bernama Asma binti Abu Bakar, kakak Aisyah. Dan Rasulullah mengizinkan menggunakan gelar tersebut. Kelebihan Aisyah dari isteri-isteri yang lain ialah, bahwa tempatnya dipilih oleh Rasulullah untuk ditempati ketika beliau sakit hingga wafatnya. Dan Aisyah pula yang mengurus sakitnya, dan beliau wafat di atas haribaannya.

Perlu diketahui, bahwa ‘Aisyah dinikahkan dengan Rasulullah saw, pada usia belia, yaitu 6/7 tahun, dan pada usia yang demikian itu belumlah dapat dilihat kecantikan wajahnya dengan jelas. Secara pshikologis, menikahi gadis belia seperti ‘Aisyah pada waktu itu, bukanlah seperti perbuatan laki-laki bermata keranjang. Karena bagi laki-laki yang bermata keranjang atau hidung belang, daripada menunggu beberapa tahun lagi, lebih baik menikahi seorang gadis yang sudah cukup umur, agar tidak berlama-lama menunggu-nunggu waktu untuk bercampur.

Dan perlu diketahui pula, bahwa pernikahan Rasulullah saw, dengan ‘Aisyah, disamping mengingat jasa-jasa ayah ‘Aisyah (Abu Bakar), sejak pertama kali Islam dicetuskan di kota Makkah hingga beliau hijrah ke kota Madinah, juga untuk memenuhi harapan Rasulullah sendiri yang menginginkan agar ‘Aisyah menjadi salah seorang pemimpin kaum wanita Islam, yang dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam mengenahi soal-soal kewanitaan kepada oang lain, terutama kepada kaum ibu. Dengan terjadinya pernikahan Rasulullah dengan ‘Aisyah, dalam tempo yang singkat, Nabi telah dapat menyampaikan bermacam-macam ilmu tentang Islam, dan dengan cepat pula ‘Aisyah dapat mengajarkan bermacam-macam hukum mengenai kewanitaan kepada orang lain.

Dan dalam kenyataannya, keinginan Rasulullah terbukti. ‘Aisyah adalah seorang isteri Nabi yang sangat cerdas, cermat dan cepat memahami ajaran-ajaran Islam, dan sesuai dengan kenyataan pula, bahwa ‘Aisyah adalah wanita yang mampu meriwayatkan hadis Nabi sampai 2.210 hadis. Ini adalah perestasi yang luar biasa. Dia adalah seorang ibu yang paling pandai dan ahli tentang hukum-hukum Islam, terutama hukum-hukum yang bersangkut paut dengan kaum ibu dan urusan rumah tangga, sehingga ia medapat julukan “Ummul Mu’minin” (Ibu orang-orang yang beriman). Aisyah wafat di kota Madinah pada tanggal 17 Ramadhan, tahun 57 hijriyah dalam usia 66 tahun.

4. Hafshah Binti Umar Bin Khaththab

Hafshah Binti Umar Bin Khaththab adalah seayah-seibu dengan Abdullah bin Umar. Ayahnya (adalah Umar bin Khattab), yaitu orang besar kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang selalu berada di sisi Rasulullah. Hafshah ikut hijrah ke Madinah bersama ayah dan suaminya. Suaminya yang pertama ialah “Khunais bin Huzaifah”, salah seorang yang penting, sebab dia meninggal dalam perang Badar. Setelah suaminya meninggal, Umar ingin agar anaknya yang telah janda itu, dinikahi oleh salah seorang sahabat Rasulullah.

Perlu kita ketahui, bahwa Hafshah adalah seorang perempuan yang tidak begitu cantik, terkenal sangat cerewet, dan mempunyai watak keras, sehingga laki-laki tidak suka kepadanya. Dalam suatu riwayat, Umar Bin Khaththab pernah meminta Abu Bakar Ash-Shiddiq, agar sudi menikahi putrinya (Hafshah), yang sudah janda tersebut, tetapi permintaannya ditolak oleh Abu bakar dengan sikap berdiam diri saja. Umar tak mendapatkan jawaban sepatah katapun. Kemudian Umar Bin Khaththab meminta kepada Usman bin Affan, agar sudi menikahi putrinya (Hafshah), yang secara kebetulan pada waktu itu, Usman bin Affan baru saja kematian isterinya, yaitu Ruqayyah, putri Rasulullah. Usman bin Affan-pun menolak dengan jawaban yang pendek, yaitu : “Aku belum berniat beristeri lagi”. Dengan demikian, jelaslah bagi kita, bahwa Hafshah setelah janda tidak disukai laki-laki.

Umar Bin Khaththab marah karena tak seorang-pun dari sahabatnya yang sudi menikahi putrinya. Lalu ia menghadap Rasulullah, mengadukan, bahwa permintaannya dianggap enteng oleh kedua sahabatnya. Rasulullah mengetahui dan mengerti betul karakter Umar Bin Khaththab yang mudah naik darah dan lekas tersinggung, namun lekas pula pema’af kalau menerima kebenaran. Maka untuk menyenangkan hatinya, beliau berkata dengan tenang dan senyum : “Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih mulia dari pada Usman bin Affan, sedangkan Usman bin Affan akan menikah dengan perempuan yang lebih tinggi dari pada Hafshah”. Umar tercengang-cengang mencari arti untaian kata yang dilontarkan Rasulullah. Lalu beliau melanjutkan dengan rangkaian kata yang sangat menyentuh hati Umar, yaitu : “Sekarang aku meminang Hafshah kepadamu”.

Alangkah senangnya Umar Bin Khaththab, karena putrinya yang sudah janda dan kurang cantik itu telah dipinang oleh seorang laki-laki pilihan Allah yang sangat ia cintai, dan ia juga merasa sangat bangga menjadi mertua seorang Nabi sebagaimana kebanggaan yang telah diperoleh oleh Abu bakar Ash-Shiddiq sebagai mertua seorang Nabi juga.

Rasulullah menikahi Hafshah setelah 30 bulan beliau hijrah ke Madinah atau tahun ke-3 hijriyah. Hafshah pernah satu kali diceraikan oleh Rasulullah, namun beliau rujuk kembali atas perintah Allah. Hafshah wafat pada tahun ke-45 hijriyah, dimasa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dalam usia 60 tahun.

5. Zainab Binti Khuzaimah

Zainab Binti Khuzaimah dari keturunan Hilal bin Amir. Sebab itu nama beliau sering ditulis Zainab Binti Khuzaimah Al-Hilaliyah atau Al-Amiriyah. Sejak zaman Jahiliyah nama Zainab sudah terkenal karena sangat pemurah dan suka menolong orang-orang yang sengsara, sehingga diberi gelar orang dengan “Ummul Masakin” (Ibu orang-orang miskin).

Rasulullah mengawini Zainab pada tahun ke-3 hijriyah. Pada waktu itu Zainab sudah menjadi perempuan tua, dan sudah dua kali menjadi janda, yaitu pertama ia adalah isteri “Thufail bin Harits” kemudian diceraikannya, sesudah itu dinikahi oleh “Ubadah bin Harits” (saudara Thufail sendiri). Ubadah wafat dalam perang Badar pada tahun ke-2 hijriyah.

Zainab bukanlah wanita cantik, dan bukan pula seorang hartawan, bahkan dia adalah seorang wanita tua yang dirundung malang. Dalam usia lanjut itu, dia hidup sebatang kara, menderita beraneka ragam kesulitan. Dia adalah janda dari seorang pejuang yang telah syahid (mujahid). Untuk itu, Rasulullah saw, tidak sampai hati membiarkan dia terlantar dalam keadaan yang demikian. Oleh sebab itu, beliau menikahinya.

Zainab menjadi isteri beliau selama kurang lebih 8 bulan, dan .wafat pada tahun ke-4 hijriyah di Madinah.

6. Hindun Binti Abi Umayyah

Hindun Binti Abi Umayyah Al-Quraisiyah Al-Makhzumiyah, dikenal dengan panggilan Ummu Salamah karena ia seorang janda dari “Abu Salamah” yang nama aslinya adalah “Abdullah bin Abdul Asad”. Ayahnya bernama Abu Umayyah, pada zaman jahiliyah dikenal sebagai seorang yang dermawan. Dia adalah keturunan Bani Makhzum yang bertemu nasabnya dengan Nabi pada Lu-ai. Sedangkan ibu dari Ummu Salamah ialah Barrah binti Abdul Muthalib, saudara ayah Nabi. Abu Salamah dan Hindun adalah pasangan suami isteri yang sangat taat kepada Rasulullah. Ketika terjadi hijrah ke Habsyah, mereka ikut berhijrah. Dan ketika masa hijrah ke Madinah, mereka berdua hendak berangkat bersama-sama pula ke Madinah sambil menggendong anak-anaknya yang masil kecil-kecil. Namun ketika akan berangkat, kaum keluarga Ummu Salamat sangat menghalang-halangi. Anak yang sedang digendong ditarik dari gendongannya. Akhirnya Abu Salamah berangkat seorang diri terlebih dahulu. Ummu Salamah bersedih hati dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun karena berpisah dengan anak-anak dan suaminya. Dalam kurun waktu setahun itulah ia terus selalu bersedih dan selalu menangis, hingga badannya sangat kurus. Rupanya ada pihak keluarga yang merasa kasihan, lalu diserahkan kembali anak-anaknya dan dibiarkan menyusul suaminya ke Madinah. Tidak lama bertemu sang suami tercinta, terjadilah perang Badar dan suaminya meninggal di medan perang.
Setelah lepas masa berkabung, Rasulullah datang mengunjunginya seraya bertanya : Tidakkah engkau bercita-cita hendak menikah lagi. Dengan mengeluh dia menjawab : Aku tidak akan dapat lagi suami yang setia seperti Abu Salamah. Apalagi ada tanggungan empat orang anak yatim. Ketika Nabi melamarnya dia berkata : "Aku wanita tua yang miskin yang harus dinafkahi dan wanita yang pencemburu". Nabi bersabda : Aku lebih tua darimu. Masalah nafkah kita serahkan kepada Allah. Tentang kecemburuan, aku berdo'a kepada Allah agar dihilangkan darimu.

Akhirnya perkawinan Rasulullah dengan Hindun berlangsung pada bulan Syawal tahun ke-4 hijriyah. Menurut Abu Umar beberapa bulan sesudah perang Badar. Dia adalah seorang janda yang miskin dan kurus dengan tanggungan empat orang anak yatim yang masih kecil-kecil. Oleh karena itu, menjadi jelaslah, bahwa perkawinan Nabi dengan Hindun hanya untuk memberikan perlindungan kepada seorang janda yang lemah dan anak yatim yang tidak berdaya.
Hindun ( Ummu salamah) wafat pada tahun ke-60 hijriyah pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah dalam usia 84 tahun. Menurut suatu riwayat, dialah isteri Nabi yang paling terakhir wafatnya.

7. Zainab Binti Jahsyi

Zainab binti Jahsyi Al-Asadiyah adalah saudara sepupu Rasulullah. Ibu Zainab (Umaimah) dan ayah Rasulullah (Abdullah) bersaudara. Nasabnya bertemu pada kakeknya yang bernama Abdul Muthalib. Zainab adalah seorang janda dari Zaid bin Haritsah. Pasangan Zaid dan Zainab tidak tenteram, sehingga Zaid sering mengadukan halnya kepada Rasulullah, bahwa isterinya tidak menghormati dirinya sebagaimana layaknya suami isteri. Hal ini mungkin terjadi, karena Zainab dari keturunan orang terhormat, sedangkan Zaid adalah seorang hamba sahaya yang dahulu dihadiahkan oleh Khadijah kepada Rasulullah, yang kemudian diambil anak angkat oleh beliau sehingga mendapat julukan Zaid bin Muhammad. Walaupun demikian, Rasulullah selalu memberi nasehat kepada Zaid agar tetap sabar menghadapi isterinya. Namun pada akhirnya bercerai juga karena kehidupan rumah tangganya yang semakin memburuk.
Pada saat kondisi rumah tangga pasangan Zaid dan Zainab semakin memburuk, tiba-tiba datanglah wahyu kepada Rasulullah, bahwa Zaid akan jadi juga menceraikan isterinya. Maka apabila iddahnya sudah sampai, Allah akan menikahkan beliau dengan Zainab. Sebenarnya dalam hati kecil Nabi merasa keberatan menerima perintah itu, sebab telah dikenal oleh masyarakat, bahwa Zaid adalah anak angkatnya. Lalu datang lanjutan wahyu, bahwa perintah Allah itu wajib dilaksanakan, supaya umat manusia mengetahui, bahwa dalam Islam itu tidak boleh lagi melanjutkan adat kebiasaan Jahiliyah, yaitu mengangkat anak orang lain sebagai anak, seolah-olah anaknya sendiri. Islam mengajarkan, bahwa anak angkat harus dipanggil dengan disandarkan kepada nama bapaknya yang sebenarnya.

Firman Allah :
Dan (ingatlah), ketika kamu (Muhammad) berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat (dengan memberi taufik masuk Islam) kepadanya (Zaid bin Haritsah) dan kamu juga telah memberi nikmat (dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak) kepadanya : "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia (setelah habis iddahnya) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
(QS. Al-Ahzab [33] :37)
Tidak ada suatu keberatanpun atas nabi tentang apa yang telah ditetapkan
Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai
sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu.
Dan adalah ketetapan Allah itu suatu
ketetapan yang pasti berlaku,
(QS. Al-Ahzab [33] :38)

Perlu kita ketahui, bahwa pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsyi adalah suatu pengorbanan yang sangat besar, karena pernikahan beliau adalah untuk membongkar adat istiadat jahiliyah yang sudah mendarah daging dalam msyarakat bangsa Arab pada waktu itu. Adat istiadat itu ialah menganggap anak angkat seperti anak kandungnya sendiri. Oleh karenanya, bapak angkat dilarang menikahi mantan isteri anak angkatnya. Untuk itu, sangat tidak pantaslah tuduhan yang mengatakan, bahwa Nabi merebut isteri anak angkatnya.

Pernikahan Rasulullah dengan zainab dilaksanakan setelah iddah Zainab selesai, pada bulan Dzul Qa'idah tahun ke-4/5 hijriyah[1]. Usia Zainab ketika itu 35 tahun, dan dia wafat pada tahun ke-20 hijriyah, dalam usia kurang lebih 53 tahun di masa pemerintahan Umar bin Khaththab.

8. Juwairiyah Binti Al-Harits Bin Abi Dhirar

Juwairiyah Binti Al-Harits Bin Abi Dhirar adalah seorang janda dari seorang laki-laki bernama “Musaafi’ bin Safwan” yang masih dari kerabatnya sendiri. Ayahnya bernama Al-Harits adalah pemimpin kabilah Bani Musthalik yang pernah bersatu untuk membunuh Nabi, namun kemudian berhasil ditaklukkan.

Suatu ketika Rasulullah menerima berita, bahwa kabilah Bani Musthalik telah bersiap-siap menyerang Madinah, karena mereka menyangka, bahwa Nabi akan pergi berperang ke tempat lain, sehingga penjagaan Madinah dianggap sudah rapuh dan kurang kuat. Tetapi maksud itu telah di dahului oleh Rasulullah. Mereka terlebih dahulu diserang, sehingga terjadilah penyerbuan atas Al-Musairi, tempat pertahanan mereka, sehingga mereka tidak dapat bergerak dan mederita kekalahan. Beribu-ribu ekor unta dan kambing menjadi harta rampasan perang, serta 700 orang laki-laki dan perempuan menjadi tawanan perang, termasuk Juwairiyah putri Al-Harits jatuh ke tangan “Tsabit bin Qais bin Syammas”.

Sebelum para tawanan dibawa ke Madinah, Juwairiyah meminta izin hendak bertemu Rasulullah dan diberi izin, sehingga terjadilah dialog antara Juwairiyah dengan Rasulullah sebagai berikut :
Juwairiyah : “Ya Rasulullah! Aku adalah Juwairiyah Binti Al-Harits Bin Abi Dhirar. Ayahku pemimpin kaumku. Aku sekarang telah menjadi tawanan perang dan jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Syammas. Dia bersedia membebaskan aku dengan uang tebusan. Untuk itu aku menghadapmu hendak bermusyawarah, berapa yang pantas aku membayar tebusan itu”.
Rasulullah : “Aku tahu siapa kamu dan siapa pula ayahmu. Selanjutnya beliau bersabda : “Aku akan mengemukakan usul baru yang lebih baik daripada yang kamu usulkan itu. Sukakah kamu menerimanya?”
Juwairiyah : “Apakah usulan itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah : “Uang tebusan itu aku sendiri yang akan membayarnya kepada Tsabit, setelah itu, kamu aku lamar menjadi isteriku”.
Juwairiyah : “Belum terdengar jawaban, suasana jadi hening, dia tidak bicara, dia tampak terharu, tercengang, namun mukanya berseri-seri”.
Rasulullah : “Bagaimana?”, tanya Rasulullah.
Juwairiyah : “Aku terima ya Rasulullah”. Jawab Juwairiyah sambil tersenyum.
Rasulullah : “Hari ini juga kita menikah”, kata Rasulullah.
Rasulullah saw, menikahi Juwairiyah pada bulan Sya’ban tahun ke-5 hijriyah. Juwairiyah nama aslinya adalah “Barrah”, tetapi setelah dinikahi Nabi, nama Barrah diganti dengan nama Juwairiyah. Dia dinikahi Nabi dalam usia 20 tahun dan wafat pada tahun ke-50 hijriyah dalam usia kurang lebih 70 tahun pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Akibat dari sikap Rasulullah menikahi Juwairiyah, ayah Juwairiyah segera dibebaskan untuk menikahkan anaknya dengan Rasulullah. Berita segera tersebar, bahwa anak pemimpin kabilah Bani Musthalik telah menikah dengan Rasulullah. Suasana permusuhan menjadi persaudaraan, lawan menjadi kawan, yang keras menjadi lunak. Semua tawanan dibebaskan tanpa tebusan, dan sebagian tawanan yang sudah bebas itu langsung memeluk dan mengikut seruan Islam. Kondisi masyarakat menjadi tenteram dan damai. Itulah seterategi perjuangan Rasulluah untuk menegakkan agama Allah di muka bumi.

9. Shafiyah Binti Huyay Bin Akhthab

Shafiyah binti Huyay bin Akhthab dari keturunan Bani Nadhir, salah satu suku Yahudi yang terbesar. Nenek moyang Shafiyah adalah Nabi Musa dan Nabi Harun. Suami Shafiyah yang pertama adalah “Salam bin Misykam” dari Banu Quraizah. Tidak lama kemudian bercerai, lalu menikah dengan seorang pemuda Yahudi bernama “ Kinanah bin Ar-Rabi’ Ibnu Abil Huqaiq”.

Ayah Shafiyah (Huyay bin Akhthab) adalah salah seorang yang sangat terkemuka di kalangan Yahudi Bani Nadhir. Dialah yang datang diam-diam ke Makkah menemui Abu Sufyan, mengajak menyerang Madinah dan mengatakan bersedia menikam Muhammad dari belakang kalau penyerangan itu terjadi. Maka terjadilah perang Ahzab (Khandaq), namun mereka gagal, dan Yahudi Qurauzah mendapat hukuman berat, semua laki-laki dibunuh, sedang perempuan dan anak-anak ditawanan. Huyay Ayah Shafiyah terkena hukuman mati. Karena ayahnya telah meninggal, Shafiyah di bawa oleh sisa Yahudi Bani Nadhir berkumpul di Khaibar, lalu menjadi isteri Ibnu Abil Huqaiq yang mempunyai benteng terkuat di Khaibar yaitu Al-Qamus.

Kaum muslimin mengadakan penyerbuan terhadap benteng-benteng pertahanan Yahudi di Khaibar, yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. Setelah benteng Al-Qamus jatuh dan Ibnu Abil Huqaiq tewas dalam mempertahankan bentengnya, kaum laki-laki hampir semua terbunuh, kaum perempuan dan anak-anak tertawanan. Shafiyah termasuk salah seorang tawanan yang jatuh ke tangan Dihyah. Dihyah melaporkan kepada Rasulullah, bahwa ada perempuan tawanan yang merupakan anak dan isteri tokoh Yahudi yang paling berpengaruh, yaitu Shafiyah.

Shafiyah adalah salah seorang perempuan yang menjadi tawanan kaum muslimin. Menurut undang-undang yang berlaku pada waktu itu, setiap tawanan harus dijadikan budak. Akan tetapi Rasulullah membebaskannya dan menikahinya, agar kedudukannya sebagai seorang bangsawan tetap terhormat. Seandainya Shafiyah tidak dinikahi oleh Nabi, maka dengan sendirinya dia akan menjadi budak belian.

Dengan demikian, jelaslah bagi kita, bahwa Nabi menikahi Shafiyah dalam rangka menghapus perbudakan di muka bumi. Beliau memberikan salah satu contoh cara memerdekakan budak dengan jalan menikahi orang yang akan diperbudak, sehingga terlepas dari kesengsaraan dan perbudakan.

Rasulullah menawarkan akan membebaskan Shafiyah dan akan menikahinya jika ia bersedia memeluk agama Islam. Shafiyah menerima tawaran tersebut, dan Rasulullah saw, memenuhi janjinya. Pernikahan Nabi dengan Shafiyah terjadi pada waktu itu Shafiyah berusia 17 tahun. Dia wafat pada bulan Ramadhan tahun ke-65 hijriyah pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

10. Ramlah Binti Abu Sufyan

Ramlah binti Abi Sufyan sebelum menikah dengan Rasulullah, terlebih dahulu dia telah menikah dengan seorang yang telah memeluk agama islam bernama Ubaidillah bin Jahsyi bin Huzaimah, dan dikaruniai seorang anak bernama “Habibah”, sehingga dikenal dengan panggilan “Ummu Habibah”. Dia pernah hijrah bersama suaminya ke Habsyah. Akan tetapi sesampainya di Habsyah suaminya keluar dari Islam dan masuk agama Nasrani. Dan dia tetap memeluk agama Islam, sehingga diceraikan oleh suaminya. Akhirnya dia menjadi janda yang hidup terlunta-lunta di Habsyah.

Ayah Ramlah bernama Abu Sufyan bin harb yang terkanal sebagai pemimpin peperangan kaum kafir Quraisy sejak perang Badar hingga kota Makkah ditaklukkan. Dia sangat memusuhi Islam dan Rasulullah. Sedangkan ibunya bernama Shafiah binti Abil Ash memilik sikap yang sama dengan suaminya dalam menghadapi Islam dan Rasulullah.

Tidak berlebihan kalau kita memandang Ramlah sebagai perempuan pejuang besar yang patut dihormati dalam sejarah. Tak dapat kita bayangkan; betapa beratnya, dia pergi hijrah bersama suaminya dengan meninggalkan ayah bundanya yang sangat membenci Islam. Begitu sampai di tempat hijrah ditinggalkan oleh suaminya yang pindah ke agama lain, sehingga dia hidup menderitan sebagai seorang janda, dan tinggal bersama seorang anak perempuannya yang bernama Habibah. Sedangkan pulang kepada ayah bundanya di kota Makkah sangat sulit dilakukan, karena ayahnya menjadi pemimpin kaum yang memusuhi Islam dan Rasulullah, yang kalah dalam perang Badar, dan mengalahkan kaum muslimin dalam perang Uhud, serta mengepung kota Madinah dalam perang Khandaq. Namun Ramlah tetap setia memeluk agama Islam.

Karena pengorbanan Ramlah yang sangat besar dan penderitaannya yang sangat menyedihkan di Habsyah, maka Rasulullah memperhatikannya dari Madinah dengan mengambil keputusan, bahwa dia harus di bela dengan perasaan dan perbuatan, sehingga beliau bermaksud hendak menikahinya. Oleh sebab itu, beliau mengutus Amer bin Umaiyah Adh-Dhamri ke Habsyi menghadap raja Najasyi yang telah memeluk agama Islam. Amer menghadap raja dan menyampaikan pesan Rasaulullah, bahwa beliau hendak melamar Ramlah menjadi istreinya, dan Najasyi dimohon menjadi wakil beliau untuk menerima akad nikahnya, dan sudi pula membawa pulang ke Madinah. Dan yang akan bertindak sebagai wali adalah Khalid bin Said bin Al-Ash bin Umaiyah. Keinginan Rasulullah yang mulia itu dilaksankannya oleh najasyi sebagai penghormatan. Pernikahan berwakil dilangsungkan dan Najasyi membayarkan maskawinnya sebesar 400 dinar emas atas nama Rasulullah, yang seharusnya maskawin itu diberikan langsung oleh Rasulullah sendiri kepada Ramlah. Ramlah pulang ke Madinah ditemani oleh Syurahbil bin Hasanah pada tahun ke-7 hijriyah.

Demikianlah sekilas riwayat pernikahan Rasulullah dengan Ramlah, yang berlangsung pada tahun ke-6 hijriyah, yang pada waktu itu Ramlah berusia 30 tahun. Ramlah wafat pada tahun ke-42 hijriyah, dalam usia kurang lebih 60 tahun, pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

11. Maimunah Binti Al-Harits Al-Hilaliyah

Maimunah binti Al-Harits Al-Hilaliyah adalah seorang perempuan bangsawan Quraisy. Dia mempunyai nama “Barrah binti Al-Harits Al-Hazan”. Dia adalah saudara perempuan Lubabah, isteri ‘Abbas (paman Nabi), dan juga saudara muda Zainab Binti Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Nabi saw, dia telah menjadi janda dua kali. Suami yang pertama bernama Mas’ud bin ‘Amer dan mereka bercerai. Suami yang kedua bernama Abu Rahim bin Abdil 'Izzi, dan dia wafat.

Pada suatu hari, sesudah Nabi menyelesaikan ‘Umratul Qadha’ di Makkah, ‘Abbas (paman Nabi) meminta dengan sangat agar Nabi saw, sudi menikahi Maimunah. Permintaan ‘Abbas tersebut diperkenankan oleh Nabi. Beberapa hari kemudian, berlangsunglah pernikahan beliau dengan Maimunah di kota Makkah, dengan maksud menolong seorang perempuan janda yang terlantar dan terkatung-katung hidupnya, dan sekaligus sebagai penghormatan bagi keluarganya yang telah saling tolong menolong dengan beliau dalam menegakkan agama Allah.

Maimunah adalah isteri Rasulullah yang terakhir, dan wafat pada tahun ke-63 hijriyah, dalam usia kurang lebih 80 tahun, pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Catatan : [i]
- Sebelum Nabi wafat, dua orang isterinya wafat terlebih dahulu, yaitu :
1. Khadijah Binti Khuwailid,
2. Zainab binti Khuzaimah.
- Setelah Nabi wafat, beliau meninggalkan 9 orang isteri sebagai janda, sebagainama yang terdapat dalam sebuah hadis, yaitu :
عَنْ اَنَسٍ قَالَ : كَانَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم تِسْعُ نِسْوَةٍ )رواه مسلم(
Dari Anas ia berkata : Nabi saw, mempunyai sembilan isteri (HR. Muslim)
1. Saudah Binti Zam’ah
2. Aisyah Binti Abu Bakar
3. Hafshah Binti Umar Bin Khaththab
Hindun Binti Abi Umayyah
Zainab Binti Jahsyi
Juwairiyah Binti Al-Harits Bin Abi Dhirar
Shafiyah Binti Huyay Bin Akhthab
8. Ramlah Binti Abu Sufyan
Maimunah Binti Al-Harits Al-Hilaliyah

Isteri-Isteri Rasulullah Dari Kaum Budak
1. Mariyah Binti Sam'un (seorang hamba sahaya (Kristen Mesir) berasal dari Qibthi). Mariyah Binti Sam'un adalah seorang hamba sahaya (Kristen Mesir) berasal dari Qibthi, sehingga dikenal juga dengan Mariyah Qibthiyah. Pernikahan dengan Rasulullah saw, dikaruniai seorang putra bernama Ibrahim yang meninggal sewaktu masih kecil. Mariyah wafat pada tahun ke-16 hijriyah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibnu Khaththab.

2. Raihanah Binti Sam’un Al-Qurazhiyah adalah keturunan bangsa Yahudi Banu Quraizhah. Dia adalah perempuqan yang menjadi tawanan kaum muslimin. Tatkala dia diajak Nabi memeluk agama Islam dia menolak. Walaupun demikian Nabi membebaskannya juga dari tawanan perang. Disebabkan hal yang demikian itu, lalu dengan tulus ilhlas, dia memeluk agama Islam. Tak lama kemudian Nabi memperisterikannya. Dia wafat pada tahun ke-10 hijriyah, di waktu Nabi baru saja kembali dari mengerjakan hajji wada’.

3. Zulaikhah Al-Qurazhiyah (Budak perempuan yang di dapat dari tawanan)

4. Jamilah (Budak perempuan pemberian Zainab Binti Jahsyi).

Putra-Putri Rasulullah
1. Al-Qasim [laki]. Dia lahir sebelum Nabi diangkat menjadi Nabi, bahkan Nabi belum lagi berusia 30 tahun. Beliau dipanggil dengan gelar Abul Qasim. Dia wafat sewaktu masih kecil dalam usia kurang lebih 2 tahun. Ibunya adalah bernama Khadijah.

2. Zainab [wanita]. Dia lahir setelah Nabi berusia 30 tahun. Setelah dewasa dia menikah dengan seorang laki-laki bernama Laqih yang bergelar Abul ‘Ash bin ar-Rabi’. Setelah Nabi diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Zainab memeluk Islam, sedangkan suaminya tidak mau. Namun setelah hijrah, suaminya memeluk agama Islam pula, sehingga Zainab-pun kembali menjadi isteri Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’, dengan persetujuan Nabi. Zainab wafat pada tahun ke-8 hijhriyah di Madinah. Ibunya adalah bernama Khadijah.

3. Abdullah [laki]. Dia dikenal dengan gelar “Thayyib dan Thahir’. Dia wafat sewaktu masih kecil dan ibunya adalah bernama Khadijah.

4. Ruqayyah [wanita]. Dia lahir setelah Nabi berusia 33 tahun. Setelah dewasa, Ruqayyah dinikahkan dengan seorang laki-laki bernama ‘Atbah bin Abi Lahab. Setelah Nabi diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Ruqayyah diceraikan oleh suaminya atas perintah Abu Lahab yang sangat menantang dan memusuhi Nabi. Sesudah itu Nabi menikahkan Ruqayyah dengan ‘Usman bin Affan dan ikut hijrah ke Madinah. Ruqayyah wafat pada tahun ke-2 hijriyah. Ibunya adalah bernama Khadijah.

5. Ummu Kaltsum [wanita]. Dia lahir setelah Ruqayyah. Setelah dewasa, Ruqayyah dinikahkan dengan seorang laki-laki bernama ‘Utaibah bin Abi Lahab, adik ‘Atbah bin Abi Lahab. Setelah Nabi diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Ummu Kaltsum mempunyai nasib yang sama dengan Ruqayyah, diceraikan oleh suaminya atas perintah Abu Lahab yang sangat menantang dan memusuhi Nabi. Oleh sebab itu, Nabi membawanya hijrah ke Madinah. Setelah Ruqayyah wafat, maka Nabi Menikahkan Ummu Kaltsum dengan Usman bin Affan. Ummu Kaltsum wafat pada tahun ke-9 hijriyah. Ibunya adalah bernama Khadijah.

6. Fatimah [wanita]. Dia lahir di waktu Nabi berusia 35 tahun. Pada waktu itu kaum quraisy sedang sibuk membangun ka”bah yang rusak akibat dilanda banjir. Setelah Fathimah dewasa, kira-kira usia 18 tahun, maka dia dinikahkan oleh Nabi dengan Ali bin Abi Thalib. Perkawinan dengan Ali berlangsung pada bulan Dzul Hijjah tahun ke-2 hijriyah. Fathimah wafat enam bulan setelah wafatnya Nabi, yaitu pada tanggal 3 ramadhan, tahun ke-11 hijriyah, dalam usia 28 tahun. Ibunya adalah bernama Khadijah.

7. Ibrahim [laki]. Dia lahir pada tahun ke-8 hijriyah. Dia wafat diwaktu masih kanak-kanak, dalam usia 2 tahun. Ibunya adalah bernama Mariyah Al-Qibthiyah.
- Putra-putri Rasulullah dari no. 1 – 6 adalah keturunan dari isteri bernama Khadijah, yang dikaruniai enam (6) orang anak.
- Putra Rasulullah no. 7 adalah keturunan dari isteri bernama Mariyah (AlQibthiyah) binti Syam’un yang hanya mempunyai satu (1) orang anak.

Cucu Rasulullah
1. Ali adalah putra Zainab binti Muhammad Rasulullah, lahir diwaktu Zainab menjadi isteri Abul ‘Ash. Ali wafat setelah dewasa. Dia pernah ikut menunggang unta dibelakang Nabi saw.

2. Umamah adalah putri Zainab binti Muhammad Rasulullah, lahir diwaktu Zainab menjadi isteri Abul ‘Ash. Umamah adalah cucu Rasulullah yang sering diajak oleh beliau mengerjakan salat di mesjid, sebagaimana banyak disebutkan dalam hadis. Setelah Fathimah wafat, dan ‘Ali bin Abi Thalib telah menjadi duda, ia menikahi Umamah atas dasar wasiat Fathimah di waktu dia menjelang wafat.

3. Abdullah adalah putra Ruqayyah binti Muhammad Rasulullah, lahir diwaktu Ruqayyah menjadi isteri Usman bin Affan. Abdullah wafat di waktu dia masih berumur kurang lebih 6 tahun.

4. Hasan adalah putra Fathimah binti Muhammad Rasulullah, lahir pada tahun ke-3 hijriyah. Wafat pada bulan Rabi’ul Awwaal tahun ke-49 hijriyah dalam usia kurang lebih 47 tahun. Ayahnya adalah ‘Ali bin Abi Thalib.

5. Husin adalah putra Fathimah binti Muhammad Rasulullah, lahir pada tahun ke-4 hijriyah. Wafat pada tahun ke-61 hijriyah dalam usia kurang lebih 57 tahun. Ayahnya adalah ‘Ali bin Abi Thalib.

6. Mukhassin adalah putra Fathimah binti Muhammad Rasulullah, lahir pada tahun ke-5, dan wafat tak lama setelah dia lahir. Ayahnya adalah ‘Ali bin Abi Thalib.
7. Zainab adalah putri Fathimah binti Muhammad Rasulullah, ayahnya adalah ‘Ali bin Abi Thalib.

8. Ummu Kaltsum adalah putri Fathimah binti Muhammad Rasulullah, ayahnya adalah ‘Ali bin Abi Thalib.

[1]. Dalam Tafsir Al-Azhar oleh Prof. Dr. Hamka terjadi pada tahun “ke-4 hijriyah”; sedangkan dalam Tarikh Nabi Muhammad oleh K.H. Moenawar terjadi pada “tahun ke-5 hijriyah”.

[i] KEPUSTAKAAN
1. Moenawar Chalil K.H, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
2. Abdurrahman Umairah, DR, Tokoh-Tokokh yang diabadikan dalam Al-Qur’an, Gema Insani, Jakarta, 2000.
3. Hamka Prof. Dr. Tafsir Al-Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983.