Rabu, 09 April 2008

Makna Filosofis Huruf Alif

oleh : Sirajuddin Syamsul Arifin

Banyak perintah Allah. yang menganjurkan kita merenung __ tadabbur __ atau memikirkan makna-makna ayat Al-Qur’an. Diantaranya adalah : “Maka apakah mereka tidak memikirkan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”[1] Dalam firman di atas, Allah swt. tidak menggunakan kalimat berita __ kalam khabari __ yang langsung dapat ditangkap tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu, akan tetapi justru menampilkaan kalimat dalam bentuk pertanyaan retorik, yaitu sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, namun memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam firman tersebut sebenarnya Allah sedang memberikan dorongan kepada kita agar selalu berjuang untuk mencari mutiara-mutiara indah yang tersebar dalam lautan Al-Qur’an. Dalam firman tersebut seolah-olah Allah menegaskan : “Semestinya mereka itu berjuang sungguh-sungguh merenungkan makna-makna kandungan Al-Qur’an, dan janganlah hatinya dibiarkan terkunci”. Allah memberikan ancaman dengan neraka jahannam bagi hamba-hamba-Nya yang sebenarnya mempunyai hati, namun tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata, namun tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, mempunyai telinga, namun tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu dipandang lalai oleh Allah dan diposisikan seperti binatang ternak yang tidak mampu berpikir karena memang tidak dikaruniai akal.[2]

Untuk menemukan mutiara-mutiara indah dari Al-Qur’an yang menjadi pedoman dalam mengarungi semudera kehidupan di alam fana ini, seharusnya kita banyak tadabbur sebagai salah satu wujud perjuangan dan bukti adanya apresiasi __ penghargaan __ yang tinggi terhadap kitab suci yang kita miliki. Begitu banyaknya mutiara-mutiara indah dalam lautan Al-Qur’an, maka satu kali kita berpikir akan menemukan satu jenis intan permata, dua kali kita berpikir akan menemukan jenis intan permata yang lain, dan demikian seterusnya. Dalam Al-Qur’an, Allah. menggambarkan banyaknya intan permata yang amat indah itu dengan bahasa metaforis atau pemisalan sebagai media pendidikan bagi hamba-hamba-Nya, agar terbiasa merenungkan kebesaran-Nya melalui firman-firman-Nya, seperti makna ayat berikut ini : “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut lagi sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[3]

Apabila kita mencoba merenungkan makna-makna kandungan Al-Qur’an, dan memulai dari huruf-hurufnya yang dikenal dengan huruf hijaiyah, yang Al-Qur’an sendiri menyatakaan sebagai kitab suci yang diturunkan dengan bahasa Arab,[4] maka akan kita temukan intan permata yang sungguh sangat mengagumkan dan dapat dijadikan sarana dalam perjuangan meraih rido Allah. Dalam huruf hijaiyah, “Alif” berada pada urutan pertama yang dilambangkan dengan garis vertikal __ garis lurus dari atas ke bawah __ atau sama dengan angka satu dalam urutan nomor dan tidak dapat menerima harakat __ tanda baca __. Dan apabila Alif itu menerima harakat, maka statusnya berubah menjadi “Hamzah”.[5] Mengapa demikian, ada mutiara apa yang dapat ditemukan dalam huruf Alif itu?. Untuk menjawab pertanyaan di atas, marilah kita merenung dan berpikir dengan mempersandingkan makna filosofis huruf Alif dengan ayat-ayat Al-Qur’an.

Makna pertama. Alif merupakan satu-satunya huruf hijaiyah yang dilambangkan dengan garis vertikal dan berada pada urutan pertama dengan bentuk angka satu. Di sinilah, Alif lalu seirama dengan makna “Ahad” yang berarti satu, seperti yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an surat Al-Ikhlas, yang menegaskan kemurnian ke-Mahaesaan Allah.[6] Inilah essensi ajaran islam yaitu ajaran “tauhid”. Dengan demikian menjadi jelaslah, bahwa dalam huruf Alif mengandung informasi kepada kita, bahwasanya Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah dan Dia pula satu-satunya tempat kita memohon pertolongan.[7] Inilah yang disebut tauhid “Uluhiyah” Dan Dia pulalah satu-satunya yang menciptakan dan memelihara alam semesta beserta segala isinya.[8] Inilah yang disebut tauhid “Rububiyah”.[9] Keyakinan akan kemahaesaan Allah inilah yang mesti ditanamkan dengan mantap ke dalam lubuk hati kita, sehingga tidak gampang tumbang terhempas angin badai, dan tidak mudah tersesat jatuh ke lubang syirik yang oleh Allah dinyatakan sebagai dosa yang tidak diampuni.[10]

Makna ke-dua. Ketika huruf Alif kita posisikan sebagai makhluk ciptaan Allah, maka di atas Alif akan ditemukan titik agung yaitu sang Maha Pencipta Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, yang dalam bahasa Al-Qur’an dikenal dengan “Al-‘Aliyyu Al-‘Azhiimu” yang kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi,[11] rahmat-Nya melampaui segala sesuatu,[12] dan nur cahaya-Nya amat indah menerangi alam semesta.[13] Allah Maha Tingggi dan Maha Agung. Kita boleh berusaha meraih kedudukan yang tinggi, mendapatkan ilmu yang banyak, dan memperoleh sejuta macam harta kekayaan, akan tetapi semu itu berada dalam genggaman Allah,[14] keagungan ada di tangan-Nya dan kemuliaan adalah milik-Nya.[15] Dia bisa berbuat apa saja sesuai kehendak-Nya. Dia Maha Agung, yang keagungan-Nya tidak dapat dijangkau hanya dengan penglihatan mata jasmaniah, tetapi juga harus memfungsikan mata batiniah, sehingga kita dapat merasakan keagungan-Nya. Dalam perjalanan hidup, kita sudah terbiasa menggunakan mata fisik untuk melihat ke luar diri kita, sehingga sulit merasakan keagungan-Nya. Hal ini terjadi, karena mata hati kita telah menjadi buta. Allah berfirman : “ Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang berada dalam rongga dada”.[16] Untuk itulah Rasululla saw. mengingatkan kita agar senentiasa merenungkan ciptaan-Nya. Dan dalam perenungan yang menyelinap sampai ke relung hati itulah akan ditemukan keagungan-Nya.

Makna ke-tiga. Pada bagian teratas huruf Alif akan kita temukan titik atas, yang merupakan bagian yang terdekat dengan titik agung, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut “Al-Muqarrabun”, yaitu orang-orang yang dekat kepada Allah,[17] mereka hidup dengan penuh kedamaian, dan kelak akan mendapatkan kenikmatan yang melimpah dalam surga sebagai wujud kasih sayang-Nya. Keadaan mereka digambarkan dalam kitab suci : “Mereka itulah orang-orang yang di dekatkan kepada Allah, mereka berada dalam surga kenikmatan,[18] berada di atas dipan yang bertah-tahkan emas dan permata, [19] dikelilingi anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan sloki berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, [20] dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan, dan didampingi bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik”.[21] Begitulah indahnya kenikmatan yang akan diraih Al-Muqarrabun, sehingga pantaslah kiranya kita merebut posisi itu dengan cara memantapkan tauhid, mengikhlaskan ibadah dan menyuburkan akhlak karimah.

Makna ke-empat. Pada bagian terbawah huruf Alif dapat kita temukan pula titik bawah yang merupakan bagian terjauh dengan titik agung, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut “Asfala Safiliina”[22] yaitu orang-orang yang berada pada tingkat terbawah, karena telah hilang ciri utamanya sebagai manusia, yaitu akal. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Mujahid, Abu Al-‘Aliyah, Al-Hasan dan Ibnu Zaid ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan “Asfala Safiliina” adalah neraka.[23] Kemudian kita bertanya, siapa gerangan yang akan menempati posisi “Asfala Safiliina” itu?. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Allah dalam firman-Nya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga, tetaapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.[24]

Dalam riwayat yang lain dikemukakan bahwa firman Allah “Tsumma Radadnaahu Asfala Saafiliina” (QS.At-Tin [95] : 5) adalah kembali ke tingkat pikun, yaitu manusia yang akal sehatnya telah hilang atau kembali seperti bayi yang baru lahir. Demikianlah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Al-‘Ufi yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, Suatu ketika Rasulullah ditanya tentang kedudukan orang yang telah pikun. Pertanyaan tersebut dijawaab oleh Allah dengan menurunkan ayat selanjutnya, yaitu Al-Qur’an surat .At-Tin [95] ayat 6 yang menegaskan bahwa mereka yang beriman dan beramal saleh sebelum pikun __ hilang akalnya __ akan mendapat pahala yang tidak putus-putus.[25]

Hanya karena persoalan tidak berfungsinya akal sesuai kehendak Allah, manusia bisa disetarakan dengan seekor binatang ternak, bukan dalam kapasitasnya sebagai “bahan baku daging potong”, tetapi kesetaraan itu dalam sikap atau tingkah laku dan nilai kualitas hidup sebagai hamba Allah. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya, semestinya selalu bersyukur kepada-Nya, yang telah menciptakan kita dalam bentuk yang paling sempurna.[26] Manakala syukur itu diabaikan, ketahuilah, bahwa azab Allah akan datang.[27] Syukur itu harus ditampilkan dalam bentuk sikap patuh dan tunduk kepada-Nya, karena semua apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya dan semuanya tunduk kepada-Nya.[28] Dia berkuasa atas segala sesuatu, dan kekuasaan-Nya tergambar dalam rekaman firman-Nya : “Katakanlah : Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[29]

Rasulullah saw. memberikan sebuah nasehat yang sangat populer, agar kita selalu merenung atau berpikir : “Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berpikir tentang zat Allah sang Maha Pencipta, karena kamu tidak akan sanggup mengetahui kadar-Nya”.[30]

Makna ke-lima. Ketika kita merenung kembali tentang huruf Alif yang tidak pernah menerima harakat, maka lalu kita ingat akan ke-Mahaan Allah yang tidak pernah menerima pemberian, karena Dia adalah Maha Pemberi[31] __ Al-Wahhab __ , Dia berdiri sendiri, tidak berhajat kepada yang lain __ Al-Qiyamu binafsih __ bahkan Dialah yang secara terus menerus mengurus makhluk-Nya.[32] Berkaitan dengan posisi Allah sebagai sang Maha Pemberi, terdapat sebuah kisah dari salah seorang sahabat Nabi bernama Abdullah ibnu Mas’ud. Dalam kisahnya beliau bercerita : “Apabila kami menegakkan ibadah salat bersama Nabi, kami membaca do’a yang artinya : ‘Semoga salam sejahtera dilimpahkan kepada Allah dari hamba-Nya, dan juga kepada si Fulan dan si Fulan’. Lalu Nabi bersabda dengan nada teguran : Janganlah kalian megucapkan : ‘Semoga salam sejahtera dilimpahkan kepada Allah, karena sesungguhnya Allah-lah pemilik dan pemberi salam sejahtera itu’. Tetapi ucapkanlah : ‘Segala kehormataana adalah kepunyaan Allah, demikian pula rahmat dan kebaikan itu. Salam sejahtera, rahmat Allah dan berkah-Nya semoga dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Salam sejahtera semoga juga dilimpahkan kepada kita dan hamba-hamba Allah yang saleh’. Karena apabila kalian mengucapkan kalimat ini pasti mengenai setiap hamba di langit atau setiap hamba antara langit dan bumi. Seterusnya beliau mengumandangkan kalimat tauhid : ‘Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang pantas disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad utusn Allah’ . Kemudian beliau berdo’a dengan memilih salah satu do’a yang disukainya”.[33]

Kalau Allah itu Maha Pemberi, maka makhluk ciptaan-Nya itulah yang menerima pemberiaan-Nya. Allah memberi sesuatu kepada hamba-Nya tidak membutuhkan ucapan terima kasih apalagi imbalan, tetapi hamba itu wajib bersyukur kepada-Nya, karena ia sangat membutuhkan pemberian-Nya dan Dia telah memberinya tanpa pamrih. Manusia yang senantiasa menerima anugerah Allah, tetapi enggan untuk bersyukur, kita umpamakan dengan huruf Alif yang menerima tanda baca __ harakat __ , yang statusnya kemudian berubah menjadi “hamzah”. Kata “Hamzah” adalah bentuk tunggal dari kata “Hamazaatun”[34] yang berarti “godaan” atau “bisikan” yang dapat menjatuhkan manusia ke lembah dosa. Manusia akan selalu menjadi sasaran bujuk rayuan setan, sehingga Allah mengajarkan sebuah do’a kepada kita, agar terhindar dari godaan-godaan atau bisikan-bisikan __ “Hamazaatin” __ yang dilancarkan oleh setan. Do’a tersebut diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an yang artinya : “Dan katakanlah : Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan”.[35]

Menerima pemberian Allah adalah hak manusia, namun manusia wajib bersyukur kepada-Nya. Allah berjanji akan menambah nikmat karunia-Nya bagi setiap hamba-Nya yang bersyukur. Dan akan memberikan azab yang amat pedih bagi hamba-Nya yang kufur (tidak bersyukur).[36] Manusia yang tidak bersyukur atau kita sebut dengan kufur nikmat, berarti ia telah berkiblat kepada bujuk rayuan setan, sehingga jatuh ke dalam perbuatan nista dan dosa, akibatnya akan terlempar ke dalam jurang azab yang menghinakan. Renungkan firman Allah berikut ini : “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya,[37] Allah akan melaknatnya di dunia dan akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan”.[38] Manusia tidak akan pernah ada yang mampu menghindar dari azab-Nya, kecuali hanya karena rahmat dan kasihsayang-Nya.

Makna ke-enam. Kata “Alif” dalam bahasa Arab antara lain berarti “mengasihi” senada dengan arti “Rahmah”. Di sisinlah, kita dapat membuka tabir informasi dari huruf Alif, bahwa Allah memiliki sifat kasih sayang yaitu Rahman dan Rahim. Rasulullah saw. mengingatkan kita agar selalu berakhlak dengan akhlak Allah Yang Maha Kasih dan Maha Sayang, yang kasih-Nya tiada pilih kasih dan sayang-Nya tiada pandang sayang. Demikianlah seharusnya dalam mengarungi kehidupan di alam fana ini, sehingga mampu menemukan kedamaian dan kasih sayang dalam hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Makna ke-tujuh. Ketika kita memandang huruf Alif dengan pandangan yang jernih, akan kita temukan sisi kanan dan sisi kiri yang sama, lalu kita sandingkan temuan itu dengan bahasa Al-Qur’an, maka kita akan mampu menangkap mutiara-mutiara indah yang nilainya sangat tinggi. Sisi kanan dalam Al-Qur’an disebut dengan golongan kanan atau “Ashhabu Al-Yamin”,[39] yaitu hamba-hamba Allah yang taat dan patuh mengikuti ajaran-Nya. Dan sisi kiri dalam Al-Qur’an disebut dengan golongan kiri atau “Ashhabu Al-Syimal”,[40] yaitu hamba-hamba Allah yang mengingkari ajaran-Nya. Di sinilah nitralitas huruf Alif dapat kita temukan. Alif yang mempunyai arti “mengasihi”, maka sisi kanan dan sisi kiri, keduanya mendapatkan kucuran kasih. Ketika Alif kita terjemahkan dengan Allah, maka kasih Allah akan mengalir kepada manusia yang beriman __ golongan kanan __ dan juga mengalir kepada manusia yang kafir __ golongan kiri __ , semuanya menerima kasih-Nya sebagai wujud sifat rahman-Nya yang meliputi segala sesuatu.

Makna ke-delapan. Ketika huruf Alif disambung dengan huruf lain, maka hanya dapat disambung ke arah kanan sebagai lambang kebenaran dan keadilan. Allah swt. akan selalu berpihak kepada kebenaran dan keadilan, dan akan bertindak seadil-adilnya. Dia akan memberikan balasan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya yang berbuat baik dan berkiblat kepada kebenaran. Demikian pula sebaliknya, Allah akan memberikan balasan keburukan kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan keburukan dan berkiblat kepada kebatilan.

Huruf Alif yang hanya dapat disambung ke arah kanan sebagai lambang kebenaran dan keadilan, memberikan informasi kepada kita, bahwa pelakunya akan mendapatkan kenikmatan yang dapat mengantarkan menuju kebahagian yang sesungguhnya, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya, huruf Alif yang tidak dapat disambung ke arah kiri sebagai lambang kejahatan, juga memberikan informasi kepada kita, bahwa pelakunya akan diganjar dengan azab yang penuh penderitaan. [41] Oleh karena itu, apabila kita masih cenderung ke arah kiri, atau mungkin masih berada di sebelah kiri, segeralah berbalik dan berlari menuju ke arah kanan untuk menikmati hidanngan Allah, yaitu hidayah,[42] sehingga rahmat kasih sayang-Nya, dua-duanya dapat kita raih, yaitu kasih sayang-Nya di masa kini dan masa mendatang sebagai kebahagiaan jangka panjang yang abadi di akhirat kelak.

Kalau rahmat Allah belum kita rasakan, bukan karena rahmat-Nya yang terbatas, akan tetapi karena kita sering kali menutup rahmat itu. Ada sebuah ilustrasi : Cahaya matahari dapat menerangi alam semesta. Tetapi dalam hutan yang lebat, cahayanya dapat tertutupi oleh lebatnya dedaunan, sehingga pepohonan di bawahnya tidak tertembus cahaya. Hal itu terjadi bukan karena keterbatasan cahaya matahari, tetapi karena lebatny dedaunan yang ada di hutan itu sendiri. Kalau kita belum merasakan adanya rahmat Allah, mungkin karena kita menutup diri, mungkin karena dosa-dosa kita masih selebat dedaunan di hutan, dan mungkin juga karena kita masih setia bergandengan dengan sifat-sifat hewani, sehingga rahmat kasih sayang-Nya tiada terasa. Mahabenar Allah lagi Mahaluas ilmu-Nya 

[1] QS. Muhammad [47] : 24, dan ayat yang senada QS. An-Nisa’ [4] : 82
[2] Baca QS. Al-A’raf [7] : 179
[3] QS. Luqman [31] : 27
[4] QS. Asy-Syu’ara’ [26] : 195, Yusuf [12] : 2, Thaha [20] : 113, Al-Ahqaf [46] : 12,- dll.
[5] Al-Munjid, Dar El-Masyriq, Beirut, Lebanon, cetakan ke-27, 1984, hal. 1
[6] Surat Al-Ikhlas termasuk salah satu surat dalam Al-Qur’an yang berada pada urutan ke-112, terdiri dari 4 ayat, yang artinya : 1. Katakanlah : Dialah Allah Yang Mahaesa, 2. Allah adalah tempat meminta, 3. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, 4. Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia.
[7] Senada dengan makna surat Al-Fatihah ayat 5, yang artinya : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.
[8] Senada dengan makna surat Al-Fatihah ayat 2, yang artinya : “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. Tuhan semesta alam adalah terjemahan dari “Rab Al-‘Aalamina”. Rab berarti : Tuhan yang dita’ati Yang Memiliki, Mendidik dan Memelihara. Al-‘Aalamina berarti semesta alam yaitu semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai macam jenis, seperti alam manusia, alam binatang, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Semua itu adalah ciptaan Allah.
[9] Penjelasan tauhid Rububiyah dan Uluhiyah, dapat dibaca dalam sebuah kitab yang disusun oleh : Abdul Aziz El-Ruwais dan Ibrahim El-Sulaiman, berjudul “Muqarrar Al-Tauhid Wal-Fiqh Wa Al-Tahdib”, untuk kelas 1, Wizarah Al-Ma’arif Al-Mudiriyah Al-‘Ammah lil-Abhats wal-Manahij wal-Mawaddah Al-Ta’limiyah, Al-Mamlakah Al-‘Arabiah Al-Su’udiyah, cetakan ke-3, 1977 M / 1397 H, hal. 11 - 12
[10] QS. An-Nisa’ [4] : 116
[11] QS. Al-Baqarah [2] : 255, dikenal dengan ayat kursi.
[12] QS. Al-A’raf [7] : 156
[13] QS. An-Nur [24] : 35
[14] QS. Az-Zumar [39] : 67
[15] QS. Fathir [35] : 10
[16] QS. Al-Hajj [22] : 46
[17] QS. Waqi’ah [56] : 11
[18] QS. Waqi’ah [56] : 12
[19] QS. Waqi’ah [56] : 15
[20] QS. Waqi’ah [56] : 17 - 18
[21] QS. Waqi’ah [56] : 20 - 23
[22] QS. At-Tin [95] : 5
[23] Al-Imam Al-Fakhru Al-Razy, Tafsir Al-Kabir, jilid 11, Dar Ihya’ Al-Turats, Beirut, Lebanon, 2001 M / 1422 H, hal. 213,- dan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, karya Imadu Al-Din Abu Al-Fida’ Ismail bin Katsir, Syirkah AlNur, Asia, tanpa tahun, hal. 527.
[24] QS. Al-A’raf [7] : 179
[25] KH.Qamaruddin Shalih, H.A.A. Dahlan, Drs. M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul, CV. Diponegoro, Bandung, 11974, hal. 581- dan lihat pula karya Imam Al-Syuyuthi, Asbabbun-nuzul, Dar Al-Fajr Litturats, Kaero, 2002/1423, hal. 461.

[26] QS. At-Tin [95] : 1 - 8
[27] QS. Ibrahim [14] : 7
[28] QS. Al-Baqarah [2] : 116
[29] QS. Ali ‘Imran [3] : 26
[30] Hadis Nabi berbunyi :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ r : تَفَكَّرُوْا فِى الْخَلْقِ وَلاَ تَفَكّرُوْا فِى الْخَالِقِ فَاِنَّكُمْ لاَ تَقْدِرُوْنَ قَدْرَهُ.
[31] QS. Ali ‘Imran [3] : 8, Shad [38] : 35
[32] QS. Ali ‘Imran [3] : 2
[33] Mughirah bin Bardizbah, Shahih Al-Bukhari, jilid 1, Dar Al-Fikr, Beirut, tanpa tahun, hal. 203, dengan hadis yang berbunyi ;

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : كُنَّا اِذَا كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ r فِى الصَّلاَةِ قُلْنَا : اَلسَّلاَمُ عَلَى اللهِ مِنْ عِبَادِهِ اَلسَّلاَمُ عَلَى فَلاَنٍ وَفُلاَنٍ فَقَال النَّبِيُّ r لاَ تَقُوْلُوْا اَلسَّلاَمُ عَلَى اللهِ فَاِنَّ اللهَ هُوَ السَّلاَمُ وَلَكِنْ قُوْلُوْا : "اَلتَّحِيَّاتُ ِللهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَيِّبَاتُ، اّلسَّلاَمَ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ". فَاِنَّكُمْ اِذَا قُلْتُمْ اَصَابَ كُلَّ عَبْدٍ فِى اسَّمَاءِ اَوْ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ. اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ – وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. ثُمَّ يَتخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ اَعْجَبَهُ اِلَيْهِ فَيَدْعُوْا. رواه البخاري

[34] Al-Munjid, op cit, hal. 873
[35] QS. Al-Mu’min [23] : 97
[36] QS. Ibrahim [14] : 7
[37] Menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maksudnya adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridoi Allah dan tidak dibenarkan Rasul-Nya, seperti kufur, mendustakan kenabian dan sebagainya.
[38] QS. Al-Ahzab [33] : 57
[39] QS. Waqi’ah [56] : 27
[40] QS. Waqi’ah [56] : 41
[41] QS. Waqi’ah [56] : 27 - 55
[42] QS. Ash-Shaffat [37] : 99

Tidak ada komentar: