MAKNA LAILATUL QADAR
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al-Qadr [97]: 1-5)
Kiranya perlu terlebih dahulu menelusuri Al-Qadr dari arti bahasa untuk dapat memahami maknanya yang antara lain adalah :
1. Al-Qadr berarti "Kemuliaan", sehingga "Lailatul Qadr" diterjemahkan dengan "malam kemuliaan". Dan kemuliaannya karena terkait dengan turunnya Al-Qur'an. Kata qadr yang berarti mulia ditemukan dalam surah Al-An'am ayat 91 : ”Dan mereka tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, di kala mereka berkata : "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia". (QS. 6 : 91)
2. Al-Qadr berarti "kepastian" atau "ketetapan" karena malam itu diturunkan ketetapan pedoman hidup yang pasti dan tidak diragukan kebenrannya, yaitu Al-Qur'an.
3. Al-Qadr berarti "pengaturan" karena malam itu Allah telah menurunkan "aturan main" dalam perjuangan mengajak umat manusia kepada ajaran yang benar, yaitu Al-Qur'an.
4. Al-Qadr berarti “sempit", karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr ayat 4 : ”Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan”.(QS.Al-Qadr [97] : 4) Kata Al-Qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Qur’an antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd : ”Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)”. (QS. Al-Ra'd [13] : 26)
Rasululah saw, menganjurkan agar memperbanyak ibadah dengan tulus dan ikhlas pada malam Al-Qadar. Sabda Nabi : ”Barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul qadar berdasarkan iman dan perhitungan semata-mata mengharap keridoan Allah (ikhlas), maka diampuni dosanya yang telah lalu”. (HR. Bukhari)[1] Berikut ini adalah salah satu contpoh do'a yang dianjurkan Rasulullah saw, kepada 'Aisyah :
قُوْلِيْ : اَللَّهُمَّ اِنَّكَ عَفْوٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ {رواه الترمذي}
Katakanlah olehmu wahai ’Aisyah :
Ya Allah, sesungguhnya Engkau sangat pema'af dan Engkau suka
kepada ma'af, oleh karena itu, ma'afkanlah keselahanku.
(HR. Tirmidzi)
Diantara kemungkinan terjadinya malam Al-Qadar adalah malam ganjil pada sepuluh malam yang terakhir dari bulan Ramadhan. Sabda Nabi : ”Jaga-jagalah Lailatul qadar pada malam-malam ganjil diantara sepuluh malam yang terakhir dari bulan ramadhan”. (HR. Bukhari)[2]
Berkenaan dengan malam Al-Qadr, terjadi peristiwa turunnya Al-Qur'an atau lebih dikenal dengan “Nuzulul Qur'an”. Turunnya Al-Qur'an pada tanggal 17 Ramadhan dan dikaitkan dengan turunnya surah pertama, yaitu surah Al-'Alaq ayat 1-5 kepada Nabi Muhammad saw, pada saat beliau melakukan khalwat di Gua Hira. (Masih diperdebatkan oleh para ulama'). Namun suatu hal yang pasti, pada hari jum'at tahun ke dua Hijriyah tanggal 17 Ramadhan telah terjadi perang Badar, yaitu perang pertama kali yang terjadi dalam sejarah awal perkembangan agama Islam. Begitu pentingnya perang tersebut dalam kelangsungan agama Islam di kemudian hari, maka oleh Al-Qur'an dinamakan “Yaum Al-Furqan” yaitu hari bertemunya pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum musyrikin atau kafir. Firman Allah : ”..... jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami di hari Al-Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan”. Al-Furqan sendiri adalah salah satu nama kitab suci Al-Qur'an sesuai fungsinya sebagai pembeda antara yang haqq dan yang bathil
Yang pasti harus kita imani berdasarkan pernyataan Al-Qur’an, bahwa "ada suatu malam yang bernama Laylatu Al-Qadr" (QS 97:1). Malam itu adalah "malam yang penuh berkah "(QS 44 : 3). Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan (QS 2 :185). Malam tersebut adalah malam mulia, yang kemuliaannya diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan yang tidak mudah dijangkau akal pikiran manusia, yaitu “Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?” (QS 97:2)
Dalam Al-Quran sebanyak 13 kali ditampilkan kalimat tanya dengan[مَآ اَدْرَاكَ]. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian.[3] Dan 3 kali mengatakan : Maa adraka Maa Al-thariq, Maa adraka ma Al-’Aqabah, dan Ma adraka Maa Laylatu Al-Qadr. Kesemuanya merupakan hal yang sulit dijangkau akal pikiran, tentunya termasuk Laylatu Al-Qadr yang menjadi topik bahasan ini.
Berdasarkan keyakinan bahwa beribadah pada malam Al-Qadr mempunyai nilai yang lebih baik dari 1000 bulan, lalu kaum muslimin berlomba-lomba untuk memperoleh banjir pahala pada malam itu, berjaga malam, apa pun yang harus dikorbankan. Bahkan tidak sedikit yang menghitung secara matematis, bahwa pahala malam Al-Qadar sama, bahkan lebih baik dari melakukan amal kebaikan selama 83 tahun 4 bulan.
Kalau kita cermati, Lailatu Al-Qadr yang termakstub dalam kitab suci Al-Qur'an surat Al-Qadr, diimformasikan oleh Allah sebagai "malam kemuliaan". Dan kemuliaannya karena terkait dengan turunnya Al-Qur'an. Sedangkan derajat 1000 bulan hanyalah ungkapan simbolik untuk menggambarkan dan mengekspresikan kemuliaan Al-Qur'an, bukan kemuliaan malam turunnya atau pergantian masa. Penggunaan bahasa kiasan "lebih baik dari seribu bulan" adalah suatu hal yang tak dapat dihindari oleh Al-Qur'an untuk mengekspresikan hal-hal yang agung dan sangat tinggi, sebagaimana bahasa kitab agama samawi lainnya.
Pemahaman ini akan lebih jelas kalau kita mau mencermati latar belakang turunnnya surat Al-Qadar (Asbabun Nuzul) berikut ini :
Suatu ketika Rasulullah saw, menuturkan kisah seorang laki-laki dari golongan Bani Israil yang memanggul senjata dalam perjuangan di jalan Allah selama
seribu bulan (terus menerus). Kemudian kaum muslimin mengagumi
perjuangan tersebut. Lalu Allah menurunkan surat Al-Qadar dari
ayat1-3 bahwa malam Al-Qadar itu lebih baik dari 1000 bulan
perjuangan laki-laki golongan Bani Israel yang
memanggul senjata di jalan Allah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan
Al-Wahidi dari Mujahid, bahwa
Dari riwayat di atas, jelaslah bahwa Rasulullah saw, menyebutkan seorang laki-laki Bani Israel yang berjuang di jalan Allah selama dalam kurun waktu 1000 bulan secara terus menerus. Kemudian kaum muslimin saat itu disamping kagum terhadap tokoh yang dikisahkan Rasulullah, juga menyimpan seberkas keresahan karena mereka tidak akan dapat menandinginya, sebab usia mereka relatif lebih pendek dari kaum Bani Israel di masa lalu. Lalu Allah saw, dengan kemahabijaksanaan-Nya menurunkan surat Al-Qadr diantaranya berfungsi sebagai kabar gembira untuk meredam kegelisahan kaum muslimin pada masa itu. Dan ungkapan dengan bahasa simbolik dari Lailatu A-Qadar ini mengacu pada bentuk pemikiran dan ekspresi kebenaran mutlak dari kitab Al-Qur'an, bukan pada malam-malam ganjil di akhir Ramadhan. Meski demikian, bahasa simbolik dari Lailatu A-Qadr bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan, melainkan harus dihargai sebagai sesuatu yang positif bagi kehidupan kaum muslimin, bila diisi dengan perjuangan membumikan nilai-nilai Al-Qur'an, yaitu mengkaji, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur'an dalam kehidupan. Ungkapan bahasa simbolik dari Lailatur qadar mesti disikapi dengan mantapnya aqidah tauhid, sehingga tidak mendatangkan penyimpangan dan penyelewengan dari fungsi dan makna yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Al-Qur'an. Penyelewengan dan penyimpangan itu akan menimbulkan pemitosan negatif bagi kaum muslimin yang dapat menyeret pada tindakan-tindakan penyembahan terhadap simbol-simbol dan pengkultusan terhadap hari-hari ganjil di akhir malam Ramadhan.
[1]. Shahih Bukhar, Dar Al-Fikr, Beirut, kitab puasa, fasal Lailatu qadar, jld, 2, tanpa tahun, hal. 253
[2]. Ibid, hal. 254
[3]. Maa adraka Maa Yawm Al-Fashl, Maa adraka Maa Al-Haqqah, Maa adraka Maa 'illiyyun, dan lain sebagainya.
Minggu, 20 Januari 2008
MAKNA LAILATUL QADAR
MINORITAS MU'MININ
MINORITAS MU’MININ MERAIH KEMENANGAN
Oleh :
H. SIRAJUDDIN SYAMSUL ARIFIN NOER
Salah satu karunia Allah bagi orang-orang yang beriman adalah dapat mengalahkan orang-orang kafir yang jumlahnya lebih banyak. Hal ini karena ketaatan dan kesabarannya, walaupun mereka berjumlah lebih sedikit. Demikianlah Allah memberikan kemenangan kepada orang-orang yang beriman atas kehendak-Nya yang tak dapat dihalangi oleh apap-pun dan siapa-pun, sehingga orang-orang kafir tak berdaya. Peristiwa ini merupakan rahasia yang sangat mengagumkan yang ditampilkan oleh Allah pada beberapa ayat dalam kitab suci Al-Qur’an.
Kita lihat kisah “Thalut” yang telah diberi kemenangan oleh Allah karena ketaatan dan kesabarannya : “Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata : "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata : "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya" Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata : "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah [2] : 249)
Allah selalu menyertai orang-orang yang sabar. Dia memberikan kabar gembira, bahwa orang-orang yang sabar, masa demi masa akan terus semakin kuat. Ketahuila, bahwa sesungguhnya semua kekuatan adalah milik Allah. Bahkan kekuatan orang-orang kafir-pun, sesungguhnya juga milik Allah. Dia dapat mengambil dengan mudah, sebagaimana Dia memberi dengan mudah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah memberikan informasi kepada orang-orang yang beriman, bahwa orang-orang yang sabar akan diberi kekuatan dengan pertolongan langsung dari-Nya : “(ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin: "Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?" Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda”.(QS. Ali 'Imran [3] : 124-125).
Allah memberikan pertolongan kepada orang-orang yang taat dan sabar dengan cara yang tidak terlihat oleh indra manusia. Semua kejayaan, kemenangan dan segala bentuk kesuksesan adalah milik Allah. Setelah taat dan sabar, orang-orang yang beriman tinggal menanti keputusan Allah. Akan tetapi, sambil menanti putusan-Nya, semangat perjuangan harus selalu dikobarkan, karena hal itu meruapakan cara memperoleh kekuatan besar yang telah diajarkan oleh Allah. Firman Allah : “Hai Nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”. “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal [8] : 65-66)
Renungkanlah!
Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur)[1] Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata
kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah
menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai mata hati.
(QS. Ali 'Imran[3] : 13)
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu
adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah
kepada Allah,supaya kamu mensyukuri-Nya.
(QS. Ali 'Imran[3] : 123)
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan tingkatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga serta bertakwalah
kepada Allah supaya kamu memperoleh kesuksesan”.
(QS. Ali 'Imran[3] : 200)
Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya,
maka sembahlah Dia dan bersabarlah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah
kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?
(QS. Maryam [19] : 65)
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesunguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
(QS. Al-Nahl [16] : 96)
Berdoalah!
رَبَّنَا اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
Ya Tuhan kami, tuangklanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah
pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.
(QS. Al-Baqarah [2] : 250).
Sabar Bagaikan Buah Pahit Yang Mengandung Obat,
Bila Dimakan Badan Menjadi Sehat.
Maha Benar Allah
[1]. Pertemuan dua golongan itu - antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin - terjadi dalam perang Badar. Badar nama suatu tempat yang terletak antara Mekah dengan Madinah dimana terdapat mata air.
Oleh :
H. SIRAJUDDIN SYAMSUL ARIFIN NOER
Salah satu karunia Allah bagi orang-orang yang beriman adalah dapat mengalahkan orang-orang kafir yang jumlahnya lebih banyak. Hal ini karena ketaatan dan kesabarannya, walaupun mereka berjumlah lebih sedikit. Demikianlah Allah memberikan kemenangan kepada orang-orang yang beriman atas kehendak-Nya yang tak dapat dihalangi oleh apap-pun dan siapa-pun, sehingga orang-orang kafir tak berdaya. Peristiwa ini merupakan rahasia yang sangat mengagumkan yang ditampilkan oleh Allah pada beberapa ayat dalam kitab suci Al-Qur’an.
Kita lihat kisah “Thalut” yang telah diberi kemenangan oleh Allah karena ketaatan dan kesabarannya : “Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata : "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata : "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya" Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata : "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah [2] : 249)
Allah selalu menyertai orang-orang yang sabar. Dia memberikan kabar gembira, bahwa orang-orang yang sabar, masa demi masa akan terus semakin kuat. Ketahuila, bahwa sesungguhnya semua kekuatan adalah milik Allah. Bahkan kekuatan orang-orang kafir-pun, sesungguhnya juga milik Allah. Dia dapat mengambil dengan mudah, sebagaimana Dia memberi dengan mudah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah memberikan informasi kepada orang-orang yang beriman, bahwa orang-orang yang sabar akan diberi kekuatan dengan pertolongan langsung dari-Nya : “(ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin: "Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?" Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda”.(QS. Ali 'Imran [3] : 124-125).
Allah memberikan pertolongan kepada orang-orang yang taat dan sabar dengan cara yang tidak terlihat oleh indra manusia. Semua kejayaan, kemenangan dan segala bentuk kesuksesan adalah milik Allah. Setelah taat dan sabar, orang-orang yang beriman tinggal menanti keputusan Allah. Akan tetapi, sambil menanti putusan-Nya, semangat perjuangan harus selalu dikobarkan, karena hal itu meruapakan cara memperoleh kekuatan besar yang telah diajarkan oleh Allah. Firman Allah : “Hai Nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”. “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal [8] : 65-66)
Renungkanlah!
Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur)[1] Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata
kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah
menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai mata hati.
(QS. Ali 'Imran[3] : 13)
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu
adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah
kepada Allah,supaya kamu mensyukuri-Nya.
(QS. Ali 'Imran[3] : 123)
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan tingkatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga serta bertakwalah
kepada Allah supaya kamu memperoleh kesuksesan”.
(QS. Ali 'Imran[3] : 200)
Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya,
maka sembahlah Dia dan bersabarlah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah
kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?
(QS. Maryam [19] : 65)
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesunguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
(QS. Al-Nahl [16] : 96)
Berdoalah!
رَبَّنَا اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
Ya Tuhan kami, tuangklanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah
pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.
(QS. Al-Baqarah [2] : 250).
Sabar Bagaikan Buah Pahit Yang Mengandung Obat,
Bila Dimakan Badan Menjadi Sehat.
Maha Benar Allah
[1]. Pertemuan dua golongan itu - antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin - terjadi dalam perang Badar. Badar nama suatu tempat yang terletak antara Mekah dengan Madinah dimana terdapat mata air.
POLIGAMI OR MONOGAMI
Oleh :
H. SIRAJUDDIN SYAMSUL ARIFIN NOER
Ayat Al-Qur’an yang mengizinkan poligami hanya satu ayat, yaitu : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisaa’ [3] : 3)
Ayat 3 surat An-Nisaa’ ini sebagai kelanjutan dari ayat 2 sebelumnya yang membicarakan tentang tata cara memelihara anak yatim, agar tidak terdapat kecurangan dan kezaliman terhadap hak-hak si yatim itu. Curang atau aniaya terhadap anak yatim sungguh sangat berat dosanya. Permulaan surat An-Nisaa’ ayat 3 : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Boleh jadi terbersit dalam hati kita : Si Yatim ini lebih baik ku nikahi biar tetap berada dalam rumahku, kecantikannya dapat ku persunting, hartanya akan tetap aman dalam genggamanku dan maskawinnya dapat ku bayar dengan murah atau bahkan aku cukup menyebut dengan angka-angka saja. Sunggah amat nista bila kita mempunyai pikiran seperti itu. Bila pemikiran kotor itu telah terlukis dalam dada, biar si yatim tidak menjadi korban, lebih baik mencari saja wanita lain yang disenangi : dua, tiga atau empat.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih jelas, baiklah kita mencermati goresan pena imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menyinggung penjelasan Aisyah, salah seorang isteri Rasulullah. Suatu ketika Urwah bin Zubair bertanya kepada Aisyah tentang asal mula datangnya ayat ini. Aisyah menjawab : Wahai keponakanku! Ayat ini berkenaan dengan seorang anak perempuan yatim yang berada dalam asuhan walinya, hartanya bercampur dengan harta sang wali. Dan sang wali tergiur akan harta dan kecantikannya, sehingga timbul hasrat hendak menikahinya, tanpa membayar maskawin secara adil sebagaimana pembayaran yang diberikan terhadap perempuan lainnya. Oleh karena niat yang buruk itu, maka dilaranglah sang wali melangsungkan pernikahan dengan sang anak asuhnya itu, kecuali jika dia dapat membayar maskawinnya secara adil, dan sampai kepada tingkatan yang layak seperti yang diberikan kepada perempuan lain. Dan daripada berbuat seperti niatnya yang buruk itu, dia dianjurkan menikahi perempuan lain yang disenangi walaupun sampai empat. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu, antara lain yang tegas dan sangat berat langsung disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an yaitu “adil”. Sebelum kita melakukan poligami, coba kita merenung sejenak, seberapa besar kemampuan kita untuk berbuat “adil”, kemudian renungkan secara mendalam firman Allah surat An-Nisaa’ ayat 129 berikut ini : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa’ ayat 129)
Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada, dan bahkan masyarakat Jahiliyah berbangga diri bila mempunyai isteri banyak, karena pintu memperoleh anak banyak-pun terbuka lebar. Dan mempunyai anak banyak merupakan kebanggan tersendiri bagi mereka. Poligami pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi , pantaslah kita merenung kembali, kenapa Rasulullah saw, tidak suka putrinya yang bernama Fathimah di madu. Sabda Nabi :
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُوْلُ : اِنَّ بَنِيْ هِشَامِ بْنِ الْمُغِيْرَةِ اِسْتَأْذَنُوْنِيْ اَنْ يُنْكِحُوْا اِبْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ اَبِيْ طَالِبٍ فَلاَ آ ذَنَ لَهُمْ ثُمَّ لاَ آ ذَنَ لَهُمْ ثُمَّ لاَ آ ذَنَ لَهُمْ اِلاَّ اَنْ يُرِيْدَ عَلِيُّ بْنُ اَبِيْ طَالِبٍ اَنْ يُطَلِّقَ اِبْنَتِيْ وَ يَنْكِحَ اِبْنَتَهُمْ، فَاِنَّمَا هِيَ بِضْعَةٌ مِنِّيْ، يَرِيْبُنِيْ مَا رَابَهَا وَ يُؤْذِ نِيْ مَا آذَاهَا. {رواه ابن ماجه : 1998}
Dari Miswar bin Makhramah ia berkata : Saya mendengar Rasululah saw, bersabda pada saat beliau sedang berada di atas mimbar : Sesungguhnya Bani Hisyam bin Mughirah telah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri-putrinya dengan Ali bin Abi Thalib, maka saya tidak memberikan izin kepada mereka, kemudian saya tidak memberikan izin kepada mereka, kemudian saya tidak memberikan izin kepada mereka (beliau mengulangi sampai tiga kali), kecuali Ali bin Abi Thalib hendak menceraikan putriku (Fathimah), lalu silahkan menikahi putri-putri mereka. Maka sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku, dapat menggelisahkan aku apa yang menggelisahkan dia, dan dapat menyakiti aku apa yang menyakiti dia. (HR. Ibnu Majah : 1998) Jilid 1, hal. 643-644).
Kita kembali kepada surat An-Nisaa’ ayat 3 yang berada pada bagian ujung yang tidak boleh kita lupakan : “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka(nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Sangat jelas bagi kita, jika takut tidak adil lebih baik satu saja. Artinya, sebelum menambah isteri kita disuruh berpikir matang terlebih dahulul. Dan di bagian paling ujung sangat jelas pula, bahwa Allah memberikan pujian bagi orang yang beristeri satu, karena lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Dengan kata lain, beristeri lebih dari satu berpotensi terjadinya penganiayaan, dan penganiayaan itu sangat dibenci oleh Allah. Kita tinggal memilih, mau mendekat kepada pujian Allah atau sebaliknya.
Pernikahan yang ideal adalah monogamy, bukan poligami. Pernikahan yang mendapatkan pengesahan dari Allah sebagai perjanjian yang kuat (mitsaaqan ghalizhan)[1] antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan agar “supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang” (Baca QS. Ar-Ruum [30] : 21). Ketenteraman sulit untuk dirasakan dengan hanya sibuk menyelesaikan masalah isteri-isteri yang banyak itu.
Lain lagi bila keadaan yang menghendaki terjadinya “poligami”, misalnya : isteri tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap suami, isteri sakit yang berlarut-larut tak kunjung sembuh, atau isteri mandul, apa boleh buat, “pintu cadangan” boleh kita buka. Namun perlu adanya kejujuran dan sikap rido sama rido antara keduanya.
Tidak pantaslah kita berdalih karena hendak mengikuti “Sunnah” Rasulullah dan para sahabatnya yang umumnya beristeri lebih dari satu. Kalau hendak mengikuti sunnah Rasul, ikutilah tata cara beliau berlaku adil, sebab beliau ternyata tidak suka putrinya di madu.
Rangkaian kata sebagai bahan renungan :
Menceburkan diri dalam poligami tanpa pemikiran yang matang, bagaikan seekor kambing jantan yang digembalakan diantara dua ekor kambing betina. Bagaikan seekor kambing jantan yang berkeliling
di antara dua ekor serigala. Keridoan yang satu akan memicu kemarahan
lainnya. Satu malam untuk yang ini dan satu malam untuk yang itu.
Pada kedua malam, celaan akan selalu menerpa.
[1] Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. An-Nisaa’ [3] :21)
Oleh :
H. SIRAJUDDIN SYAMSUL ARIFIN NOER
Ayat Al-Qur’an yang mengizinkan poligami hanya satu ayat, yaitu : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisaa’ [3] : 3)
Ayat 3 surat An-Nisaa’ ini sebagai kelanjutan dari ayat 2 sebelumnya yang membicarakan tentang tata cara memelihara anak yatim, agar tidak terdapat kecurangan dan kezaliman terhadap hak-hak si yatim itu. Curang atau aniaya terhadap anak yatim sungguh sangat berat dosanya. Permulaan surat An-Nisaa’ ayat 3 : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Boleh jadi terbersit dalam hati kita : Si Yatim ini lebih baik ku nikahi biar tetap berada dalam rumahku, kecantikannya dapat ku persunting, hartanya akan tetap aman dalam genggamanku dan maskawinnya dapat ku bayar dengan murah atau bahkan aku cukup menyebut dengan angka-angka saja. Sunggah amat nista bila kita mempunyai pikiran seperti itu. Bila pemikiran kotor itu telah terlukis dalam dada, biar si yatim tidak menjadi korban, lebih baik mencari saja wanita lain yang disenangi : dua, tiga atau empat.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih jelas, baiklah kita mencermati goresan pena imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menyinggung penjelasan Aisyah, salah seorang isteri Rasulullah. Suatu ketika Urwah bin Zubair bertanya kepada Aisyah tentang asal mula datangnya ayat ini. Aisyah menjawab : Wahai keponakanku! Ayat ini berkenaan dengan seorang anak perempuan yatim yang berada dalam asuhan walinya, hartanya bercampur dengan harta sang wali. Dan sang wali tergiur akan harta dan kecantikannya, sehingga timbul hasrat hendak menikahinya, tanpa membayar maskawin secara adil sebagaimana pembayaran yang diberikan terhadap perempuan lainnya. Oleh karena niat yang buruk itu, maka dilaranglah sang wali melangsungkan pernikahan dengan sang anak asuhnya itu, kecuali jika dia dapat membayar maskawinnya secara adil, dan sampai kepada tingkatan yang layak seperti yang diberikan kepada perempuan lain. Dan daripada berbuat seperti niatnya yang buruk itu, dia dianjurkan menikahi perempuan lain yang disenangi walaupun sampai empat. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu, antara lain yang tegas dan sangat berat langsung disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an yaitu “adil”. Sebelum kita melakukan poligami, coba kita merenung sejenak, seberapa besar kemampuan kita untuk berbuat “adil”, kemudian renungkan secara mendalam firman Allah surat An-Nisaa’ ayat 129 berikut ini : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa’ ayat 129)
Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada, dan bahkan masyarakat Jahiliyah berbangga diri bila mempunyai isteri banyak, karena pintu memperoleh anak banyak-pun terbuka lebar. Dan mempunyai anak banyak merupakan kebanggan tersendiri bagi mereka. Poligami pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi , pantaslah kita merenung kembali, kenapa Rasulullah saw, tidak suka putrinya yang bernama Fathimah di madu. Sabda Nabi :
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُوْلُ : اِنَّ بَنِيْ هِشَامِ بْنِ الْمُغِيْرَةِ اِسْتَأْذَنُوْنِيْ اَنْ يُنْكِحُوْا اِبْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ اَبِيْ طَالِبٍ فَلاَ آ ذَنَ لَهُمْ ثُمَّ لاَ آ ذَنَ لَهُمْ ثُمَّ لاَ آ ذَنَ لَهُمْ اِلاَّ اَنْ يُرِيْدَ عَلِيُّ بْنُ اَبِيْ طَالِبٍ اَنْ يُطَلِّقَ اِبْنَتِيْ وَ يَنْكِحَ اِبْنَتَهُمْ، فَاِنَّمَا هِيَ بِضْعَةٌ مِنِّيْ، يَرِيْبُنِيْ مَا رَابَهَا وَ يُؤْذِ نِيْ مَا آذَاهَا. {رواه ابن ماجه : 1998}
Dari Miswar bin Makhramah ia berkata : Saya mendengar Rasululah saw, bersabda pada saat beliau sedang berada di atas mimbar : Sesungguhnya Bani Hisyam bin Mughirah telah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri-putrinya dengan Ali bin Abi Thalib, maka saya tidak memberikan izin kepada mereka, kemudian saya tidak memberikan izin kepada mereka, kemudian saya tidak memberikan izin kepada mereka (beliau mengulangi sampai tiga kali), kecuali Ali bin Abi Thalib hendak menceraikan putriku (Fathimah), lalu silahkan menikahi putri-putri mereka. Maka sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku, dapat menggelisahkan aku apa yang menggelisahkan dia, dan dapat menyakiti aku apa yang menyakiti dia. (HR. Ibnu Majah : 1998) Jilid 1, hal. 643-644).
Kita kembali kepada surat An-Nisaa’ ayat 3 yang berada pada bagian ujung yang tidak boleh kita lupakan : “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka(nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Sangat jelas bagi kita, jika takut tidak adil lebih baik satu saja. Artinya, sebelum menambah isteri kita disuruh berpikir matang terlebih dahulul. Dan di bagian paling ujung sangat jelas pula, bahwa Allah memberikan pujian bagi orang yang beristeri satu, karena lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Dengan kata lain, beristeri lebih dari satu berpotensi terjadinya penganiayaan, dan penganiayaan itu sangat dibenci oleh Allah. Kita tinggal memilih, mau mendekat kepada pujian Allah atau sebaliknya.
Pernikahan yang ideal adalah monogamy, bukan poligami. Pernikahan yang mendapatkan pengesahan dari Allah sebagai perjanjian yang kuat (mitsaaqan ghalizhan)[1] antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan agar “supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang” (Baca QS. Ar-Ruum [30] : 21). Ketenteraman sulit untuk dirasakan dengan hanya sibuk menyelesaikan masalah isteri-isteri yang banyak itu.
Lain lagi bila keadaan yang menghendaki terjadinya “poligami”, misalnya : isteri tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap suami, isteri sakit yang berlarut-larut tak kunjung sembuh, atau isteri mandul, apa boleh buat, “pintu cadangan” boleh kita buka. Namun perlu adanya kejujuran dan sikap rido sama rido antara keduanya.
Tidak pantaslah kita berdalih karena hendak mengikuti “Sunnah” Rasulullah dan para sahabatnya yang umumnya beristeri lebih dari satu. Kalau hendak mengikuti sunnah Rasul, ikutilah tata cara beliau berlaku adil, sebab beliau ternyata tidak suka putrinya di madu.
Rangkaian kata sebagai bahan renungan :
Menceburkan diri dalam poligami tanpa pemikiran yang matang, bagaikan seekor kambing jantan yang digembalakan diantara dua ekor kambing betina. Bagaikan seekor kambing jantan yang berkeliling
di antara dua ekor serigala. Keridoan yang satu akan memicu kemarahan
lainnya. Satu malam untuk yang ini dan satu malam untuk yang itu.
Pada kedua malam, celaan akan selalu menerpa.
[1] Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. An-Nisaa’ [3] :21)
Langganan:
Postingan (Atom)