Jumat, 21 Maret 2008

Isteri-Isteri Rasulullah

1. Khadijah Binti Khuwailid

Khadijah Binti Khuwailid; Khuwailid anak Asad; Asad anak Abdul ‘Uzza; Abdul ‘Uzza anak Qushai, Qushai anak Kilab dari suku Quraisy. Pada zaman Jahiliyah Khadijah diberi gelar “Ath-Thahirah” artinya “Yang Bersih”, karena dia tidak terbawa arus gelombang adat buruk zaman Jahiliyah. Sebelum menikah dengan Rasulullah saw, dia telah menikah dengan seorang lelaki bernama Athiq bin A'ids. Kemudian menikah dengan seorang lelaki bernama “Abu Halah bin Zararah” dan mendapatkan seorang anak bernama “Hindun”. Setelah Abu Halah meninggal, Khadijah dinikahi oleh “Utaid bin Abid” dari Bani Makhzum, dan Utaid bin Abid-pun meninggal. Dengan demikian, Khadijah telah janda 3 kali sebelum menikah dengan Nabi saw.

Suatu ketika hatinya tertarik untuk mengangkat Muhammad bin Abdillah menjadi kepercayaannya membawa harta perniagaannya ke Syam. Harapannya tidak mengecewakan, sebab Muhammad saw, memegang amanah dengan baik, sehingga perdagangannya mendatangkan keuntungan yang amat besar. Dan sepulang dari Syam itulah, Khadijah menyampaikan keingannannya dengan terus terang kepada Muhammd saw, agar sudi menikah dengan dirinya.

Keinginan Khadijah mendapat sambutan Muhammd saw, dan menikahlah Khadijah dengan beliau dalam usia 40 tahun, sedang beliau berusia 25 tahun, dan belum dingkat menjadi Nabi Rasulullah. Setelah diangkat menjadi Nabi Rasulullah, maka Khadijah-lah wanita pertama yang beriman kepada Rasulullah. Ia termasuk salah seorang pengusaha sukses di kota Makkah dan menyumbangkan kekayaannya untuk mensyi'arkan Islam.

Perlu diketahui, bahwa pernikahan Muhammd saw, dengan Khadijah yang sudah janda 3 kali itu adalah bermula dari keinginan Khadijah, bukan bermula dari keinginan beliau, dan bukan beliau pula yang meminangnya. Beliau menerima pinangannya adalah semata-mata untuk menolongnya, agar harta benda Khadijah dan dirinya tidak menjadi permainan laki-laki yang bermata duitan, sebagaimana kebiasaan masyarakat Arab pada waktu itu, yang apabila mereka menikahi seorang janda kaya, maka semua kekayaannya akan dihabiskan tanpa kejujuran, walaupun laki-laki itu hartawan. Perlu diketahui pula, bahwa sebelum Khadijah menikah dengan Muhammd saw, sebenarnya telah beberapa kali dipinang oleh beberapa orang laki-laki Quraisy, tetapi ditolaknya. Dan Khadijah betul-betul memahami adat kebiasaan masyarakat Arab yang tidak baik itu, sehingga ia mengharapkan pertolongan, agar Muhammad bin Abdullah, seorang pemuda Quraisy yang papa sengsara itu, namun terkenal dengan julukan “Al-amin” (yang jujur dan dapat dipercaya), sudi menikahinya. Usia perkawinan mereka mencapai 25 tahun, dan selama itu pula beliau hanya mempunyai seorang isteri, hingga Khadijah wafat.

Khadijah wafat pada tahun ke-10 dari tahun kenabian Nabi Muhammad saw, di kota Makkah dalam usia 65 tahun dan dimakamkan di Makkah.

Setelah Khadijah wafat, Rasulullah saw, dalam kesedihan dan kesepian. Para sahabat merasa kasihan atas kesendirian beliau dan mengharapkan agar beliau menikah lagi, agar dapat terhibur dan dapat meringankan beban penderitaannya karena telah ditinggal pergi untuk selamanya oleh Khadijah Ummul Mu’minin.

Lalu datanglah Khaulah binti Hakim As-Salamiyah, isteri ‘Usman bin Mazh’un menjumpai Rasulullah saw, dan terjadi dialog sebagai berikut :
Khaulah : Ya Rasulullah! Aku melihat tuan dirasuki kehampaan karena kepergian Khadijah.
Rasulullah saw : Benar. Khadijah adalah ibu bagi keluarga dan pengatur rumah tangga.
Khaulah : Apakah tuan tidak mau nikah lagi?
Rasulullah saw : Siapakah yang dapat menggantikan Khadijah?
Khaulah : Ya Rasulullah! Tuan dapat menikahi gadis atau janda.
Rasulullah saw : Siapakah yang gadis itu?
Khaulah : Putri dari seorang yang paling tuan cintai, yaitu ‘Aisyah binti Abu Bakar.
Rasulullah saw : Siapakah yang janda itu?
Khaulah : Saudah Binti Zam’ah Al-Quraisyiyah yang telah beriman kepada tuan dan telah mengikuti tuan dengan benar.
Rasulullah saw : Pergilah engkau, dan terangkanlah keduanya kepadaku.
Demikianlah menurut suatu riwayat yang menerangkan ketika Khadijah telah wafat, dan selanjutnya Rasulullah saw, menikahi Saudah dan ‘Aisyah.

2. Saudah Binti Zam’ah

Saudah Binti Zam’ah Al-Quraisyiyah adalah dari keturunan Lu-ai. Suaminya yang pertama bernama “Sakran bin Amer”, salah seorang sahabat Nabi dari keturunan Lu-ai yang wafat di Makkah sekembalinya hijrah dari Habsyah. Pada Luai itulah bertemu nasabnya dengan Nabi. Beliau menikah dengan Saudah beberapa hari setelah Khadijah meninggal dunia, yaitu pada tahun ke-10 dari tahun kenabian Nabi Muhammad saw, di kota Makkah. Saudah ketika itu telah tua, tidak seberapa selisih umurnya dengan Khadijah. Besar kemungkinan, bahwa pernikahannya lebih banyak ditekankan kepada pemeliharaan rumah tangga karena kematian Khadijah. Setelah Saudah tua dan merasa tidak dapat lagi melayani suami sebagaiamana mestinya, dia hadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah.

Pada waktu kaum muslimin Makkah diperintahkan Nabi hijrah ke Hansyah, maka Saudah ikut hijrah bersama suaminya. Sekembalinya dari Habsyah, tiba-tiba suaminya wafat di Makkah, dan meninggalkan seorang anak bernama “Abdurrahman”. Setelah ditinggal suaminya, Saudah hidup sengsara, karena kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya sangat memusuhi Islam dan kaum Muslimin.

Saudah adalah seorang janda yang hidup sebatang kara dengan tanggungan anak yang masih kecil, dan mendapat rintangan yang begitu hebat dari kedua orang tua dan sauda-saudaranya, sehingga Nabi saw, tidak sampai hati membiarkan seorang janda Muslimah terlunta-lunta. Oleh sebab itu, untuk menyenangkan hatinya yang selalu dirundung duka, dan untuk meringankan penderitaan yang ditanggungnya, serta menghindarkannya dari fitnah yang mungkin akan menimpanya, maka Nabi saw, berusaha menolong dan melindunginya dengan jalan menikahinya.
Dia dapat hidup menjadi isteri beliau dan menyaksikan kewafatan beliau. Dia meninggal setelah tua benar pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.

3. Aisyah Binti Abu Bakar

Aisyah Binti Abu Bakar Bakar Ash-Shiddiq adalah putri sahabat yang paling Nabi cintai, karena jasa-jasanya dalam memperjuangkan Islam. Beberapa hari sesudah Rasulullah saw, menikahi Saudah, maka beliau menikah dengan Aisyah pada bulan Syawal tahun ke-10 Nubuwwat, yaitu 3 tahun sebelum hijrah, dengan memberinya mahar sebanyak 400 dirham. Pada saat itu, Aisyah berusia 6 tahun. Riwayat yang lain mengatakan, ‘Aisyah berusia 7 tahun. Tetapi baru serumah dengan Rasulullah setelah ‘Aisyah berusia 9 tahun. Ketika Rasulullah wafat, Aisyah baru berusia 18 tahun.

Aisyah serumah dengan Rasulullah setelah hijrah ke Madinah dan beliau telah selesai membangun mesjid dan mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshar. Menjelang serumah dengan Rasulullah, Aisyah masih bermain dengan dua orang sahabat perempuannya di bawah pohon kurma, lalu datanglah ibunya yang bernama “Ummi Rauman binti Amir” memintanya agar ia berhenti bermain. Ia dibawa ibunya sampai ke sumur, dibuka ikat rambutnya dan dibersihkan wajahnya dengan air. Kemudian ibunya menemui Rasulullah. Ternyata disana telah berkumpul kaum wanita Anshar yang mempersiapkan segala kebutuhan Aisyah. Ia adalah isteri beliau yang paling muda usianya ketika dinikahi, dan isteri beliau satu-satunya yang dinikahi dalam keadaan dara (perawan).

Aisyah dengan Rasulullah tidak mempunyai keturunan. Oleh karena itu ia meminta izin kepada beliau untuk memakai kunyah (gelar) dengan panggilan “Ummi Abdillah”, diambil dari nama Abdullah bin Zubair bin Awwam. Ibu Abdullah bernama Asma binti Abu Bakar, kakak Aisyah. Dan Rasulullah mengizinkan menggunakan gelar tersebut. Kelebihan Aisyah dari isteri-isteri yang lain ialah, bahwa tempatnya dipilih oleh Rasulullah untuk ditempati ketika beliau sakit hingga wafatnya. Dan Aisyah pula yang mengurus sakitnya, dan beliau wafat di atas haribaannya.

Perlu diketahui, bahwa ‘Aisyah dinikahkan dengan Rasulullah saw, pada usia belia, yaitu 6/7 tahun, dan pada usia yang demikian itu belumlah dapat dilihat kecantikan wajahnya dengan jelas. Secara pshikologis, menikahi gadis belia seperti ‘Aisyah pada waktu itu, bukanlah seperti perbuatan laki-laki bermata keranjang. Karena bagi laki-laki yang bermata keranjang atau hidung belang, daripada menunggu beberapa tahun lagi, lebih baik menikahi seorang gadis yang sudah cukup umur, agar tidak berlama-lama menunggu-nunggu waktu untuk bercampur.

Dan perlu diketahui pula, bahwa pernikahan Rasulullah saw, dengan ‘Aisyah, disamping mengingat jasa-jasa ayah ‘Aisyah (Abu Bakar), sejak pertama kali Islam dicetuskan di kota Makkah hingga beliau hijrah ke kota Madinah, juga untuk memenuhi harapan Rasulullah sendiri yang menginginkan agar ‘Aisyah menjadi salah seorang pemimpin kaum wanita Islam, yang dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam mengenahi soal-soal kewanitaan kepada oang lain, terutama kepada kaum ibu. Dengan terjadinya pernikahan Rasulullah dengan ‘Aisyah, dalam tempo yang singkat, Nabi telah dapat menyampaikan bermacam-macam ilmu tentang Islam, dan dengan cepat pula ‘Aisyah dapat mengajarkan bermacam-macam hukum mengenai kewanitaan kepada orang lain.

Dan dalam kenyataannya, keinginan Rasulullah terbukti. ‘Aisyah adalah seorang isteri Nabi yang sangat cerdas, cermat dan cepat memahami ajaran-ajaran Islam, dan sesuai dengan kenyataan pula, bahwa ‘Aisyah adalah wanita yang mampu meriwayatkan hadis Nabi sampai 2.210 hadis. Ini adalah perestasi yang luar biasa. Dia adalah seorang ibu yang paling pandai dan ahli tentang hukum-hukum Islam, terutama hukum-hukum yang bersangkut paut dengan kaum ibu dan urusan rumah tangga, sehingga ia medapat julukan “Ummul Mu’minin” (Ibu orang-orang yang beriman). Aisyah wafat di kota Madinah pada tanggal 17 Ramadhan, tahun 57 hijriyah dalam usia 66 tahun.

4. Hafshah Binti Umar Bin Khaththab

Hafshah Binti Umar Bin Khaththab adalah seayah-seibu dengan Abdullah bin Umar. Ayahnya (adalah Umar bin Khattab), yaitu orang besar kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang selalu berada di sisi Rasulullah. Hafshah ikut hijrah ke Madinah bersama ayah dan suaminya. Suaminya yang pertama ialah “Khunais bin Huzaifah”, salah seorang yang penting, sebab dia meninggal dalam perang Badar. Setelah suaminya meninggal, Umar ingin agar anaknya yang telah janda itu, dinikahi oleh salah seorang sahabat Rasulullah.

Perlu kita ketahui, bahwa Hafshah adalah seorang perempuan yang tidak begitu cantik, terkenal sangat cerewet, dan mempunyai watak keras, sehingga laki-laki tidak suka kepadanya. Dalam suatu riwayat, Umar Bin Khaththab pernah meminta Abu Bakar Ash-Shiddiq, agar sudi menikahi putrinya (Hafshah), yang sudah janda tersebut, tetapi permintaannya ditolak oleh Abu bakar dengan sikap berdiam diri saja. Umar tak mendapatkan jawaban sepatah katapun. Kemudian Umar Bin Khaththab meminta kepada Usman bin Affan, agar sudi menikahi putrinya (Hafshah), yang secara kebetulan pada waktu itu, Usman bin Affan baru saja kematian isterinya, yaitu Ruqayyah, putri Rasulullah. Usman bin Affan-pun menolak dengan jawaban yang pendek, yaitu : “Aku belum berniat beristeri lagi”. Dengan demikian, jelaslah bagi kita, bahwa Hafshah setelah janda tidak disukai laki-laki.

Umar Bin Khaththab marah karena tak seorang-pun dari sahabatnya yang sudi menikahi putrinya. Lalu ia menghadap Rasulullah, mengadukan, bahwa permintaannya dianggap enteng oleh kedua sahabatnya. Rasulullah mengetahui dan mengerti betul karakter Umar Bin Khaththab yang mudah naik darah dan lekas tersinggung, namun lekas pula pema’af kalau menerima kebenaran. Maka untuk menyenangkan hatinya, beliau berkata dengan tenang dan senyum : “Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih mulia dari pada Usman bin Affan, sedangkan Usman bin Affan akan menikah dengan perempuan yang lebih tinggi dari pada Hafshah”. Umar tercengang-cengang mencari arti untaian kata yang dilontarkan Rasulullah. Lalu beliau melanjutkan dengan rangkaian kata yang sangat menyentuh hati Umar, yaitu : “Sekarang aku meminang Hafshah kepadamu”.

Alangkah senangnya Umar Bin Khaththab, karena putrinya yang sudah janda dan kurang cantik itu telah dipinang oleh seorang laki-laki pilihan Allah yang sangat ia cintai, dan ia juga merasa sangat bangga menjadi mertua seorang Nabi sebagaimana kebanggaan yang telah diperoleh oleh Abu bakar Ash-Shiddiq sebagai mertua seorang Nabi juga.

Rasulullah menikahi Hafshah setelah 30 bulan beliau hijrah ke Madinah atau tahun ke-3 hijriyah. Hafshah pernah satu kali diceraikan oleh Rasulullah, namun beliau rujuk kembali atas perintah Allah. Hafshah wafat pada tahun ke-45 hijriyah, dimasa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dalam usia 60 tahun.

5. Zainab Binti Khuzaimah

Zainab Binti Khuzaimah dari keturunan Hilal bin Amir. Sebab itu nama beliau sering ditulis Zainab Binti Khuzaimah Al-Hilaliyah atau Al-Amiriyah. Sejak zaman Jahiliyah nama Zainab sudah terkenal karena sangat pemurah dan suka menolong orang-orang yang sengsara, sehingga diberi gelar orang dengan “Ummul Masakin” (Ibu orang-orang miskin).

Rasulullah mengawini Zainab pada tahun ke-3 hijriyah. Pada waktu itu Zainab sudah menjadi perempuan tua, dan sudah dua kali menjadi janda, yaitu pertama ia adalah isteri “Thufail bin Harits” kemudian diceraikannya, sesudah itu dinikahi oleh “Ubadah bin Harits” (saudara Thufail sendiri). Ubadah wafat dalam perang Badar pada tahun ke-2 hijriyah.

Zainab bukanlah wanita cantik, dan bukan pula seorang hartawan, bahkan dia adalah seorang wanita tua yang dirundung malang. Dalam usia lanjut itu, dia hidup sebatang kara, menderita beraneka ragam kesulitan. Dia adalah janda dari seorang pejuang yang telah syahid (mujahid). Untuk itu, Rasulullah saw, tidak sampai hati membiarkan dia terlantar dalam keadaan yang demikian. Oleh sebab itu, beliau menikahinya.

Zainab menjadi isteri beliau selama kurang lebih 8 bulan, dan .wafat pada tahun ke-4 hijriyah di Madinah.

6. Hindun Binti Abi Umayyah

Hindun Binti Abi Umayyah Al-Quraisiyah Al-Makhzumiyah, dikenal dengan panggilan Ummu Salamah karena ia seorang janda dari “Abu Salamah” yang nama aslinya adalah “Abdullah bin Abdul Asad”. Ayahnya bernama Abu Umayyah, pada zaman jahiliyah dikenal sebagai seorang yang dermawan. Dia adalah keturunan Bani Makhzum yang bertemu nasabnya dengan Nabi pada Lu-ai. Sedangkan ibu dari Ummu Salamah ialah Barrah binti Abdul Muthalib, saudara ayah Nabi. Abu Salamah dan Hindun adalah pasangan suami isteri yang sangat taat kepada Rasulullah. Ketika terjadi hijrah ke Habsyah, mereka ikut berhijrah. Dan ketika masa hijrah ke Madinah, mereka berdua hendak berangkat bersama-sama pula ke Madinah sambil menggendong anak-anaknya yang masil kecil-kecil. Namun ketika akan berangkat, kaum keluarga Ummu Salamat sangat menghalang-halangi. Anak yang sedang digendong ditarik dari gendongannya. Akhirnya Abu Salamah berangkat seorang diri terlebih dahulu. Ummu Salamah bersedih hati dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun karena berpisah dengan anak-anak dan suaminya. Dalam kurun waktu setahun itulah ia terus selalu bersedih dan selalu menangis, hingga badannya sangat kurus. Rupanya ada pihak keluarga yang merasa kasihan, lalu diserahkan kembali anak-anaknya dan dibiarkan menyusul suaminya ke Madinah. Tidak lama bertemu sang suami tercinta, terjadilah perang Badar dan suaminya meninggal di medan perang.
Setelah lepas masa berkabung, Rasulullah datang mengunjunginya seraya bertanya : Tidakkah engkau bercita-cita hendak menikah lagi. Dengan mengeluh dia menjawab : Aku tidak akan dapat lagi suami yang setia seperti Abu Salamah. Apalagi ada tanggungan empat orang anak yatim. Ketika Nabi melamarnya dia berkata : "Aku wanita tua yang miskin yang harus dinafkahi dan wanita yang pencemburu". Nabi bersabda : Aku lebih tua darimu. Masalah nafkah kita serahkan kepada Allah. Tentang kecemburuan, aku berdo'a kepada Allah agar dihilangkan darimu.

Akhirnya perkawinan Rasulullah dengan Hindun berlangsung pada bulan Syawal tahun ke-4 hijriyah. Menurut Abu Umar beberapa bulan sesudah perang Badar. Dia adalah seorang janda yang miskin dan kurus dengan tanggungan empat orang anak yatim yang masih kecil-kecil. Oleh karena itu, menjadi jelaslah, bahwa perkawinan Nabi dengan Hindun hanya untuk memberikan perlindungan kepada seorang janda yang lemah dan anak yatim yang tidak berdaya.
Hindun ( Ummu salamah) wafat pada tahun ke-60 hijriyah pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah dalam usia 84 tahun. Menurut suatu riwayat, dialah isteri Nabi yang paling terakhir wafatnya.

7. Zainab Binti Jahsyi

Zainab binti Jahsyi Al-Asadiyah adalah saudara sepupu Rasulullah. Ibu Zainab (Umaimah) dan ayah Rasulullah (Abdullah) bersaudara. Nasabnya bertemu pada kakeknya yang bernama Abdul Muthalib. Zainab adalah seorang janda dari Zaid bin Haritsah. Pasangan Zaid dan Zainab tidak tenteram, sehingga Zaid sering mengadukan halnya kepada Rasulullah, bahwa isterinya tidak menghormati dirinya sebagaimana layaknya suami isteri. Hal ini mungkin terjadi, karena Zainab dari keturunan orang terhormat, sedangkan Zaid adalah seorang hamba sahaya yang dahulu dihadiahkan oleh Khadijah kepada Rasulullah, yang kemudian diambil anak angkat oleh beliau sehingga mendapat julukan Zaid bin Muhammad. Walaupun demikian, Rasulullah selalu memberi nasehat kepada Zaid agar tetap sabar menghadapi isterinya. Namun pada akhirnya bercerai juga karena kehidupan rumah tangganya yang semakin memburuk.
Pada saat kondisi rumah tangga pasangan Zaid dan Zainab semakin memburuk, tiba-tiba datanglah wahyu kepada Rasulullah, bahwa Zaid akan jadi juga menceraikan isterinya. Maka apabila iddahnya sudah sampai, Allah akan menikahkan beliau dengan Zainab. Sebenarnya dalam hati kecil Nabi merasa keberatan menerima perintah itu, sebab telah dikenal oleh masyarakat, bahwa Zaid adalah anak angkatnya. Lalu datang lanjutan wahyu, bahwa perintah Allah itu wajib dilaksanakan, supaya umat manusia mengetahui, bahwa dalam Islam itu tidak boleh lagi melanjutkan adat kebiasaan Jahiliyah, yaitu mengangkat anak orang lain sebagai anak, seolah-olah anaknya sendiri. Islam mengajarkan, bahwa anak angkat harus dipanggil dengan disandarkan kepada nama bapaknya yang sebenarnya.

Firman Allah :
Dan (ingatlah), ketika kamu (Muhammad) berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat (dengan memberi taufik masuk Islam) kepadanya (Zaid bin Haritsah) dan kamu juga telah memberi nikmat (dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak) kepadanya : "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia (setelah habis iddahnya) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
(QS. Al-Ahzab [33] :37)
Tidak ada suatu keberatanpun atas nabi tentang apa yang telah ditetapkan
Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai
sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu.
Dan adalah ketetapan Allah itu suatu
ketetapan yang pasti berlaku,
(QS. Al-Ahzab [33] :38)

Perlu kita ketahui, bahwa pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsyi adalah suatu pengorbanan yang sangat besar, karena pernikahan beliau adalah untuk membongkar adat istiadat jahiliyah yang sudah mendarah daging dalam msyarakat bangsa Arab pada waktu itu. Adat istiadat itu ialah menganggap anak angkat seperti anak kandungnya sendiri. Oleh karenanya, bapak angkat dilarang menikahi mantan isteri anak angkatnya. Untuk itu, sangat tidak pantaslah tuduhan yang mengatakan, bahwa Nabi merebut isteri anak angkatnya.

Pernikahan Rasulullah dengan zainab dilaksanakan setelah iddah Zainab selesai, pada bulan Dzul Qa'idah tahun ke-4/5 hijriyah[1]. Usia Zainab ketika itu 35 tahun, dan dia wafat pada tahun ke-20 hijriyah, dalam usia kurang lebih 53 tahun di masa pemerintahan Umar bin Khaththab.

8. Juwairiyah Binti Al-Harits Bin Abi Dhirar

Juwairiyah Binti Al-Harits Bin Abi Dhirar adalah seorang janda dari seorang laki-laki bernama “Musaafi’ bin Safwan” yang masih dari kerabatnya sendiri. Ayahnya bernama Al-Harits adalah pemimpin kabilah Bani Musthalik yang pernah bersatu untuk membunuh Nabi, namun kemudian berhasil ditaklukkan.

Suatu ketika Rasulullah menerima berita, bahwa kabilah Bani Musthalik telah bersiap-siap menyerang Madinah, karena mereka menyangka, bahwa Nabi akan pergi berperang ke tempat lain, sehingga penjagaan Madinah dianggap sudah rapuh dan kurang kuat. Tetapi maksud itu telah di dahului oleh Rasulullah. Mereka terlebih dahulu diserang, sehingga terjadilah penyerbuan atas Al-Musairi, tempat pertahanan mereka, sehingga mereka tidak dapat bergerak dan mederita kekalahan. Beribu-ribu ekor unta dan kambing menjadi harta rampasan perang, serta 700 orang laki-laki dan perempuan menjadi tawanan perang, termasuk Juwairiyah putri Al-Harits jatuh ke tangan “Tsabit bin Qais bin Syammas”.

Sebelum para tawanan dibawa ke Madinah, Juwairiyah meminta izin hendak bertemu Rasulullah dan diberi izin, sehingga terjadilah dialog antara Juwairiyah dengan Rasulullah sebagai berikut :
Juwairiyah : “Ya Rasulullah! Aku adalah Juwairiyah Binti Al-Harits Bin Abi Dhirar. Ayahku pemimpin kaumku. Aku sekarang telah menjadi tawanan perang dan jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Syammas. Dia bersedia membebaskan aku dengan uang tebusan. Untuk itu aku menghadapmu hendak bermusyawarah, berapa yang pantas aku membayar tebusan itu”.
Rasulullah : “Aku tahu siapa kamu dan siapa pula ayahmu. Selanjutnya beliau bersabda : “Aku akan mengemukakan usul baru yang lebih baik daripada yang kamu usulkan itu. Sukakah kamu menerimanya?”
Juwairiyah : “Apakah usulan itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah : “Uang tebusan itu aku sendiri yang akan membayarnya kepada Tsabit, setelah itu, kamu aku lamar menjadi isteriku”.
Juwairiyah : “Belum terdengar jawaban, suasana jadi hening, dia tidak bicara, dia tampak terharu, tercengang, namun mukanya berseri-seri”.
Rasulullah : “Bagaimana?”, tanya Rasulullah.
Juwairiyah : “Aku terima ya Rasulullah”. Jawab Juwairiyah sambil tersenyum.
Rasulullah : “Hari ini juga kita menikah”, kata Rasulullah.
Rasulullah saw, menikahi Juwairiyah pada bulan Sya’ban tahun ke-5 hijriyah. Juwairiyah nama aslinya adalah “Barrah”, tetapi setelah dinikahi Nabi, nama Barrah diganti dengan nama Juwairiyah. Dia dinikahi Nabi dalam usia 20 tahun dan wafat pada tahun ke-50 hijriyah dalam usia kurang lebih 70 tahun pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Akibat dari sikap Rasulullah menikahi Juwairiyah, ayah Juwairiyah segera dibebaskan untuk menikahkan anaknya dengan Rasulullah. Berita segera tersebar, bahwa anak pemimpin kabilah Bani Musthalik telah menikah dengan Rasulullah. Suasana permusuhan menjadi persaudaraan, lawan menjadi kawan, yang keras menjadi lunak. Semua tawanan dibebaskan tanpa tebusan, dan sebagian tawanan yang sudah bebas itu langsung memeluk dan mengikut seruan Islam. Kondisi masyarakat menjadi tenteram dan damai. Itulah seterategi perjuangan Rasulluah untuk menegakkan agama Allah di muka bumi.

9. Shafiyah Binti Huyay Bin Akhthab

Shafiyah binti Huyay bin Akhthab dari keturunan Bani Nadhir, salah satu suku Yahudi yang terbesar. Nenek moyang Shafiyah adalah Nabi Musa dan Nabi Harun. Suami Shafiyah yang pertama adalah “Salam bin Misykam” dari Banu Quraizah. Tidak lama kemudian bercerai, lalu menikah dengan seorang pemuda Yahudi bernama “ Kinanah bin Ar-Rabi’ Ibnu Abil Huqaiq”.

Ayah Shafiyah (Huyay bin Akhthab) adalah salah seorang yang sangat terkemuka di kalangan Yahudi Bani Nadhir. Dialah yang datang diam-diam ke Makkah menemui Abu Sufyan, mengajak menyerang Madinah dan mengatakan bersedia menikam Muhammad dari belakang kalau penyerangan itu terjadi. Maka terjadilah perang Ahzab (Khandaq), namun mereka gagal, dan Yahudi Qurauzah mendapat hukuman berat, semua laki-laki dibunuh, sedang perempuan dan anak-anak ditawanan. Huyay Ayah Shafiyah terkena hukuman mati. Karena ayahnya telah meninggal, Shafiyah di bawa oleh sisa Yahudi Bani Nadhir berkumpul di Khaibar, lalu menjadi isteri Ibnu Abil Huqaiq yang mempunyai benteng terkuat di Khaibar yaitu Al-Qamus.

Kaum muslimin mengadakan penyerbuan terhadap benteng-benteng pertahanan Yahudi di Khaibar, yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. Setelah benteng Al-Qamus jatuh dan Ibnu Abil Huqaiq tewas dalam mempertahankan bentengnya, kaum laki-laki hampir semua terbunuh, kaum perempuan dan anak-anak tertawanan. Shafiyah termasuk salah seorang tawanan yang jatuh ke tangan Dihyah. Dihyah melaporkan kepada Rasulullah, bahwa ada perempuan tawanan yang merupakan anak dan isteri tokoh Yahudi yang paling berpengaruh, yaitu Shafiyah.

Shafiyah adalah salah seorang perempuan yang menjadi tawanan kaum muslimin. Menurut undang-undang yang berlaku pada waktu itu, setiap tawanan harus dijadikan budak. Akan tetapi Rasulullah membebaskannya dan menikahinya, agar kedudukannya sebagai seorang bangsawan tetap terhormat. Seandainya Shafiyah tidak dinikahi oleh Nabi, maka dengan sendirinya dia akan menjadi budak belian.

Dengan demikian, jelaslah bagi kita, bahwa Nabi menikahi Shafiyah dalam rangka menghapus perbudakan di muka bumi. Beliau memberikan salah satu contoh cara memerdekakan budak dengan jalan menikahi orang yang akan diperbudak, sehingga terlepas dari kesengsaraan dan perbudakan.

Rasulullah menawarkan akan membebaskan Shafiyah dan akan menikahinya jika ia bersedia memeluk agama Islam. Shafiyah menerima tawaran tersebut, dan Rasulullah saw, memenuhi janjinya. Pernikahan Nabi dengan Shafiyah terjadi pada waktu itu Shafiyah berusia 17 tahun. Dia wafat pada bulan Ramadhan tahun ke-65 hijriyah pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

10. Ramlah Binti Abu Sufyan

Ramlah binti Abi Sufyan sebelum menikah dengan Rasulullah, terlebih dahulu dia telah menikah dengan seorang yang telah memeluk agama islam bernama Ubaidillah bin Jahsyi bin Huzaimah, dan dikaruniai seorang anak bernama “Habibah”, sehingga dikenal dengan panggilan “Ummu Habibah”. Dia pernah hijrah bersama suaminya ke Habsyah. Akan tetapi sesampainya di Habsyah suaminya keluar dari Islam dan masuk agama Nasrani. Dan dia tetap memeluk agama Islam, sehingga diceraikan oleh suaminya. Akhirnya dia menjadi janda yang hidup terlunta-lunta di Habsyah.

Ayah Ramlah bernama Abu Sufyan bin harb yang terkanal sebagai pemimpin peperangan kaum kafir Quraisy sejak perang Badar hingga kota Makkah ditaklukkan. Dia sangat memusuhi Islam dan Rasulullah. Sedangkan ibunya bernama Shafiah binti Abil Ash memilik sikap yang sama dengan suaminya dalam menghadapi Islam dan Rasulullah.

Tidak berlebihan kalau kita memandang Ramlah sebagai perempuan pejuang besar yang patut dihormati dalam sejarah. Tak dapat kita bayangkan; betapa beratnya, dia pergi hijrah bersama suaminya dengan meninggalkan ayah bundanya yang sangat membenci Islam. Begitu sampai di tempat hijrah ditinggalkan oleh suaminya yang pindah ke agama lain, sehingga dia hidup menderitan sebagai seorang janda, dan tinggal bersama seorang anak perempuannya yang bernama Habibah. Sedangkan pulang kepada ayah bundanya di kota Makkah sangat sulit dilakukan, karena ayahnya menjadi pemimpin kaum yang memusuhi Islam dan Rasulullah, yang kalah dalam perang Badar, dan mengalahkan kaum muslimin dalam perang Uhud, serta mengepung kota Madinah dalam perang Khandaq. Namun Ramlah tetap setia memeluk agama Islam.

Karena pengorbanan Ramlah yang sangat besar dan penderitaannya yang sangat menyedihkan di Habsyah, maka Rasulullah memperhatikannya dari Madinah dengan mengambil keputusan, bahwa dia harus di bela dengan perasaan dan perbuatan, sehingga beliau bermaksud hendak menikahinya. Oleh sebab itu, beliau mengutus Amer bin Umaiyah Adh-Dhamri ke Habsyi menghadap raja Najasyi yang telah memeluk agama Islam. Amer menghadap raja dan menyampaikan pesan Rasaulullah, bahwa beliau hendak melamar Ramlah menjadi istreinya, dan Najasyi dimohon menjadi wakil beliau untuk menerima akad nikahnya, dan sudi pula membawa pulang ke Madinah. Dan yang akan bertindak sebagai wali adalah Khalid bin Said bin Al-Ash bin Umaiyah. Keinginan Rasulullah yang mulia itu dilaksankannya oleh najasyi sebagai penghormatan. Pernikahan berwakil dilangsungkan dan Najasyi membayarkan maskawinnya sebesar 400 dinar emas atas nama Rasulullah, yang seharusnya maskawin itu diberikan langsung oleh Rasulullah sendiri kepada Ramlah. Ramlah pulang ke Madinah ditemani oleh Syurahbil bin Hasanah pada tahun ke-7 hijriyah.

Demikianlah sekilas riwayat pernikahan Rasulullah dengan Ramlah, yang berlangsung pada tahun ke-6 hijriyah, yang pada waktu itu Ramlah berusia 30 tahun. Ramlah wafat pada tahun ke-42 hijriyah, dalam usia kurang lebih 60 tahun, pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

11. Maimunah Binti Al-Harits Al-Hilaliyah

Maimunah binti Al-Harits Al-Hilaliyah adalah seorang perempuan bangsawan Quraisy. Dia mempunyai nama “Barrah binti Al-Harits Al-Hazan”. Dia adalah saudara perempuan Lubabah, isteri ‘Abbas (paman Nabi), dan juga saudara muda Zainab Binti Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Nabi saw, dia telah menjadi janda dua kali. Suami yang pertama bernama Mas’ud bin ‘Amer dan mereka bercerai. Suami yang kedua bernama Abu Rahim bin Abdil 'Izzi, dan dia wafat.

Pada suatu hari, sesudah Nabi menyelesaikan ‘Umratul Qadha’ di Makkah, ‘Abbas (paman Nabi) meminta dengan sangat agar Nabi saw, sudi menikahi Maimunah. Permintaan ‘Abbas tersebut diperkenankan oleh Nabi. Beberapa hari kemudian, berlangsunglah pernikahan beliau dengan Maimunah di kota Makkah, dengan maksud menolong seorang perempuan janda yang terlantar dan terkatung-katung hidupnya, dan sekaligus sebagai penghormatan bagi keluarganya yang telah saling tolong menolong dengan beliau dalam menegakkan agama Allah.

Maimunah adalah isteri Rasulullah yang terakhir, dan wafat pada tahun ke-63 hijriyah, dalam usia kurang lebih 80 tahun, pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Catatan : [i]
- Sebelum Nabi wafat, dua orang isterinya wafat terlebih dahulu, yaitu :
1. Khadijah Binti Khuwailid,
2. Zainab binti Khuzaimah.
- Setelah Nabi wafat, beliau meninggalkan 9 orang isteri sebagai janda, sebagainama yang terdapat dalam sebuah hadis, yaitu :
عَنْ اَنَسٍ قَالَ : كَانَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم تِسْعُ نِسْوَةٍ )رواه مسلم(
Dari Anas ia berkata : Nabi saw, mempunyai sembilan isteri (HR. Muslim)
1. Saudah Binti Zam’ah
2. Aisyah Binti Abu Bakar
3. Hafshah Binti Umar Bin Khaththab
Hindun Binti Abi Umayyah
Zainab Binti Jahsyi
Juwairiyah Binti Al-Harits Bin Abi Dhirar
Shafiyah Binti Huyay Bin Akhthab
8. Ramlah Binti Abu Sufyan
Maimunah Binti Al-Harits Al-Hilaliyah

Isteri-Isteri Rasulullah Dari Kaum Budak
1. Mariyah Binti Sam'un (seorang hamba sahaya (Kristen Mesir) berasal dari Qibthi). Mariyah Binti Sam'un adalah seorang hamba sahaya (Kristen Mesir) berasal dari Qibthi, sehingga dikenal juga dengan Mariyah Qibthiyah. Pernikahan dengan Rasulullah saw, dikaruniai seorang putra bernama Ibrahim yang meninggal sewaktu masih kecil. Mariyah wafat pada tahun ke-16 hijriyah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibnu Khaththab.

2. Raihanah Binti Sam’un Al-Qurazhiyah adalah keturunan bangsa Yahudi Banu Quraizhah. Dia adalah perempuqan yang menjadi tawanan kaum muslimin. Tatkala dia diajak Nabi memeluk agama Islam dia menolak. Walaupun demikian Nabi membebaskannya juga dari tawanan perang. Disebabkan hal yang demikian itu, lalu dengan tulus ilhlas, dia memeluk agama Islam. Tak lama kemudian Nabi memperisterikannya. Dia wafat pada tahun ke-10 hijriyah, di waktu Nabi baru saja kembali dari mengerjakan hajji wada’.

3. Zulaikhah Al-Qurazhiyah (Budak perempuan yang di dapat dari tawanan)

4. Jamilah (Budak perempuan pemberian Zainab Binti Jahsyi).

Putra-Putri Rasulullah
1. Al-Qasim [laki]. Dia lahir sebelum Nabi diangkat menjadi Nabi, bahkan Nabi belum lagi berusia 30 tahun. Beliau dipanggil dengan gelar Abul Qasim. Dia wafat sewaktu masih kecil dalam usia kurang lebih 2 tahun. Ibunya adalah bernama Khadijah.

2. Zainab [wanita]. Dia lahir setelah Nabi berusia 30 tahun. Setelah dewasa dia menikah dengan seorang laki-laki bernama Laqih yang bergelar Abul ‘Ash bin ar-Rabi’. Setelah Nabi diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Zainab memeluk Islam, sedangkan suaminya tidak mau. Namun setelah hijrah, suaminya memeluk agama Islam pula, sehingga Zainab-pun kembali menjadi isteri Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’, dengan persetujuan Nabi. Zainab wafat pada tahun ke-8 hijhriyah di Madinah. Ibunya adalah bernama Khadijah.

3. Abdullah [laki]. Dia dikenal dengan gelar “Thayyib dan Thahir’. Dia wafat sewaktu masih kecil dan ibunya adalah bernama Khadijah.

4. Ruqayyah [wanita]. Dia lahir setelah Nabi berusia 33 tahun. Setelah dewasa, Ruqayyah dinikahkan dengan seorang laki-laki bernama ‘Atbah bin Abi Lahab. Setelah Nabi diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Ruqayyah diceraikan oleh suaminya atas perintah Abu Lahab yang sangat menantang dan memusuhi Nabi. Sesudah itu Nabi menikahkan Ruqayyah dengan ‘Usman bin Affan dan ikut hijrah ke Madinah. Ruqayyah wafat pada tahun ke-2 hijriyah. Ibunya adalah bernama Khadijah.

5. Ummu Kaltsum [wanita]. Dia lahir setelah Ruqayyah. Setelah dewasa, Ruqayyah dinikahkan dengan seorang laki-laki bernama ‘Utaibah bin Abi Lahab, adik ‘Atbah bin Abi Lahab. Setelah Nabi diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Ummu Kaltsum mempunyai nasib yang sama dengan Ruqayyah, diceraikan oleh suaminya atas perintah Abu Lahab yang sangat menantang dan memusuhi Nabi. Oleh sebab itu, Nabi membawanya hijrah ke Madinah. Setelah Ruqayyah wafat, maka Nabi Menikahkan Ummu Kaltsum dengan Usman bin Affan. Ummu Kaltsum wafat pada tahun ke-9 hijriyah. Ibunya adalah bernama Khadijah.

6. Fatimah [wanita]. Dia lahir di waktu Nabi berusia 35 tahun. Pada waktu itu kaum quraisy sedang sibuk membangun ka”bah yang rusak akibat dilanda banjir. Setelah Fathimah dewasa, kira-kira usia 18 tahun, maka dia dinikahkan oleh Nabi dengan Ali bin Abi Thalib. Perkawinan dengan Ali berlangsung pada bulan Dzul Hijjah tahun ke-2 hijriyah. Fathimah wafat enam bulan setelah wafatnya Nabi, yaitu pada tanggal 3 ramadhan, tahun ke-11 hijriyah, dalam usia 28 tahun. Ibunya adalah bernama Khadijah.

7. Ibrahim [laki]. Dia lahir pada tahun ke-8 hijriyah. Dia wafat diwaktu masih kanak-kanak, dalam usia 2 tahun. Ibunya adalah bernama Mariyah Al-Qibthiyah.
- Putra-putri Rasulullah dari no. 1 – 6 adalah keturunan dari isteri bernama Khadijah, yang dikaruniai enam (6) orang anak.
- Putra Rasulullah no. 7 adalah keturunan dari isteri bernama Mariyah (AlQibthiyah) binti Syam’un yang hanya mempunyai satu (1) orang anak.

Cucu Rasulullah
1. Ali adalah putra Zainab binti Muhammad Rasulullah, lahir diwaktu Zainab menjadi isteri Abul ‘Ash. Ali wafat setelah dewasa. Dia pernah ikut menunggang unta dibelakang Nabi saw.

2. Umamah adalah putri Zainab binti Muhammad Rasulullah, lahir diwaktu Zainab menjadi isteri Abul ‘Ash. Umamah adalah cucu Rasulullah yang sering diajak oleh beliau mengerjakan salat di mesjid, sebagaimana banyak disebutkan dalam hadis. Setelah Fathimah wafat, dan ‘Ali bin Abi Thalib telah menjadi duda, ia menikahi Umamah atas dasar wasiat Fathimah di waktu dia menjelang wafat.

3. Abdullah adalah putra Ruqayyah binti Muhammad Rasulullah, lahir diwaktu Ruqayyah menjadi isteri Usman bin Affan. Abdullah wafat di waktu dia masih berumur kurang lebih 6 tahun.

4. Hasan adalah putra Fathimah binti Muhammad Rasulullah, lahir pada tahun ke-3 hijriyah. Wafat pada bulan Rabi’ul Awwaal tahun ke-49 hijriyah dalam usia kurang lebih 47 tahun. Ayahnya adalah ‘Ali bin Abi Thalib.

5. Husin adalah putra Fathimah binti Muhammad Rasulullah, lahir pada tahun ke-4 hijriyah. Wafat pada tahun ke-61 hijriyah dalam usia kurang lebih 57 tahun. Ayahnya adalah ‘Ali bin Abi Thalib.

6. Mukhassin adalah putra Fathimah binti Muhammad Rasulullah, lahir pada tahun ke-5, dan wafat tak lama setelah dia lahir. Ayahnya adalah ‘Ali bin Abi Thalib.
7. Zainab adalah putri Fathimah binti Muhammad Rasulullah, ayahnya adalah ‘Ali bin Abi Thalib.

8. Ummu Kaltsum adalah putri Fathimah binti Muhammad Rasulullah, ayahnya adalah ‘Ali bin Abi Thalib.

[1]. Dalam Tafsir Al-Azhar oleh Prof. Dr. Hamka terjadi pada tahun “ke-4 hijriyah”; sedangkan dalam Tarikh Nabi Muhammad oleh K.H. Moenawar terjadi pada “tahun ke-5 hijriyah”.

[i] KEPUSTAKAAN
1. Moenawar Chalil K.H, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
2. Abdurrahman Umairah, DR, Tokoh-Tokokh yang diabadikan dalam Al-Qur’an, Gema Insani, Jakarta, 2000.
3. Hamka Prof. Dr. Tafsir Al-Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983.

Tidak ada komentar: