Sabtu, 22 Maret 2008

PAKAIAN TAQWA

Suatu ketika Rasulullah saw. masuk pasar, ditemani oleh Abu Hurairah ra. dengan niat hendak membeli sehelai baju yang agak pantas beliau pakai. Dalam perjalanan akan keluar dari pasar, beliau mendengar suara seorang pemuda berseru : “Barangsiapa yang sudi memberiku sehelai baju, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Hai dermawan! Berilah aku baju, semoga Allah memberi gantinya buat kamu”. Pemuda itu tidak mengetahui, bahwa Rasulullah saw. berada di dekatnya. Setelah pemuda itu mengucapkan seruan yang kedua kalinya, Rasulullah saw. sampai di tempat pemuda itu berdiri, lalu beliau serahkan dasar baju yang baru dibelinya itu dengan ikhlas, tanpa ada pertimbangan panjang lebar lagi.[1]

Masalah sandang merupakan salah satu persoalan yang menyangkut kebutuhan pokok manusia. Rasulullah saw. dan pemuda dalam kisah di atas, berusaha mendapatkan pakaian untuk memenuhi salah satu kebutuhan pokoknya. Hal itu dilakukan, karena mereka memahami betul manfaatnya yang sangat penting dalam hidupnya. Dasar baju yang baru saja Rasulullah saw. beli diserahkan kepada pemuda dengan hati yang bersih, karena beliau mengetahui bahwa pemuda itu lebih membutuhkannya. Baju adalah salah satu jenis pakaian yang dibutuhkan manusia. Pakaian tidak hanya berkaitan dengan etika dan estetika, tetapi juga dengan sosial ekonomi, budaya, iklim, dan bahkan agama. Menurut ajaran agama islam, berpakaian hanya diwajibkan bagi umat manusia, sehingga tidak keliru kalau dikatakan, bahwa manusia adalah “makhluk yang wajib berpakaian”.

Manfaat pakaian sungguh sangat besar dalam hidup ini, antara lain adalah untuk memelihara kulit dari sengatan panas, cuaca dingin dan dari segala sesuatu yang dapat mengganggu jasmani. Hal ini diilustrasikan dalam kitab suci Al-Qur’an : “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas, dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya)”.[2]

Dalam bahasa Arab terdapat kata “tsaw-bun” yang berarti baju atau pakaian. Ketika kata itu dikembangkan keluarlah kata “tsawaa-bun” yang berarti “pahala”. Dari arti bahasa ini mudah dipahami, bahwa pakaian dapat membuahkan pahala. Untuk itu perlu kiranya diketahui, bahwa pahala merupakan dampak positif dari segala aktivitas yang berlandaskan iman dan takwa, yang dalam jangka panjang akan mendatangkan kebahagiaan dan kedamaian. Atau dengan kata lain, pakaian yang memiliki nilai-nilai keimanan dan ketakwaan akan mendatangkan dampak positif berupa kebaikan-kebaikan, dan yang terbaik akan diberikan dalam kehidupan jangka panjang yang abadi di sisi Allah. Renungkan rekaman firman Allah : “Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala yang datang dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui”.[3]

Dari berbagai macam bentuk pakaian, maka pakaian yang dibuat dan dipakai berdasarkan iman dan takwa itulah yang akan menjadi sarana untuk meraih rido Allah. Dalam kitab suci Al-Qur’an ditemukan kalimat “Libaasut-taqwa”, yang terdiri dari dua kata, yaitu “Libaasun” yang berarti “pakaian” dan berasal dari kata “La-bi-sa” yang berarti “memakai”. Ketika dikembangkan timbul kata “Albasa” yang berarti “menutupi”. Dan kata yang kedua adalah “Al-Taqwa” yang salah satu artinya adalah memelihara atau menjaga diri dari hal-hal yang tidak disukai Allah. Disinilah, kata “Libaasut-taqwa” kita artikan dengan “pakaian takwa” yang berfungsi untuk memelihara atau menjaga diri dari sikap atau perbuatan yang dapat menjatuhkan ke dalam jurang nista dan dosa, dengan cara memakai pakaian yang dapat menutupi yang tidak pantas kelihatan __ termasuk menutupi bagian-bagian anggota tubuh, yang biasa kita kenal dengan sebutan “aurat” __. Demikianlah yang dinamakan “pakaian takwa” menurut pendapat Abdurrahman bin zaid bin Aslam dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir.[4] Marilah kita renungkan rekaman firman Allah : “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”.[5] Sungguh sangat beruntunglah hamba yang memilih baju atau pakaian yang dibentuk dan dipakainya berlandaskan iman dan takwa, karena ia telah berkiblat kepada kebenaran yang datang dari Allah.

Ada fungsi lain dari pakaian yaitu sebagai hiasan yang menambah keindahan bagi pemakainya. Hal ini dapat dipahami dari kalimat dalam terjemahan di atas yang berbunyi : “pakaian indah untuk perhiasan” yang merupakan terjemahan dari kata “Riisyun” ( رِيْشٌ) yang arti asalnya adalah “bulu burung” atau “pakaian yang sangat bagus”. Seekor burung yang beraneka ragam warna bulunya selalu tampak indah, sehingga mampu menarik perhatian setiap mata yang memandangnya, karena keindahannya yang menggoda. Tampilan itu bukanlah menurut kehendak burung itu sendiri, tetapi berjalan sesuai sunnatullah __undang-undang atau aturan-aturan Allah__, sehingga keindahannya asli dan lebih abadi. Manusia sebagai hamba pilihan yang dimuliakan Allah, seharusnya mampu memilih bentuk pakaian dan berpakaian sesuai sunnatullah, bukan hanya sekedar mengikuti selera manusia itu sendiri, sehingga dapat tampil indah __ salah satu arti ihsan __[6] menurut pandangan Allah dan indah pula menurut pandangan manusia. Hal ini tentu dapat diwujudkan hanya oleh hamba Allah yang bertakwa kepada-Nya, karena sikap takwa itu mesti dibuktikan dengan menjalankan perintah dan meninggalkan laranagn-Nya dalam mengarungi kehidupan di alam fana ini. Dan jiwa takwa inilah yang akan membentuk manusia berakhlak mulia yang menjadi ciri khas orang yang beriman, yaitu orang yang tulus menerima kebenaran yang datang dari Allah. Rasulullah saw. memberikan informasi kepada kita, bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.[7]

Kata “aurat” pada ayat tersebut adalah terjemahan dari kata “saw-aatun” (سَوْءَاتٌ ) yang merupakan perkembangan dari kata “suu- un” (سُوْءٌ ) yang mempunyai arti keji, buruk, cacat dan jahat. Dan kata “aurat” itu sendiri, sebenarnya diambil juga dari bahasa Arab, yang berasal dari kata “ ’awira ” ( عَوِرَ ) yang berarti “buta sebelah mata”. Kemudian kata tersebut berkembang menjadi “ ‘awaarun” ( عَوَارٌ ) yang berarti cacat, cela dan aib. Dari uraian di atas, dapat dipahami, bahwa aurat adalah sesuatu yang mesti ditutupi dan tidak baik dibuka atau dilihat karena berpotensi untuk menimbulkan perbuatan keji dan tercela, baik bagi pelaku maupun bagi orang yang melihatnya. Dan orang yang suka membuka auratnya adalah tergolong hamba yang cacat dan tercela karena hanya melihat dengan sebelah mata, yaitu mata fisik jasmaniah, sementara mata ruhaniahnya buta, tidak dapat melihat, sehingga tidak mampu merespon positif hukum ketentuan Allah. Renungkan secara lebih mendalam firman Allah berikut ini : “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu (mata jasmaniah) yang buta, tetapi yang buta adalah hati di dalam dada”. [8]

Semua yang kita tampilkan di muka bumi, termasuk bentuk pakaian dan cara kita berpakaian serta akibat dari pakaian yang kita kenakan, selalu berada dalam pengawasan Allah dan akan tercatat serta tersimpan dengan rapi dalam buku induk di Lauh Al-Mahfuzh. Demikian pula akibatnya, jika dampaknya baik __ menurut aturan Allah __ terhadap diri dan lingkungannya, maka akan dicatat sebagai kebaikan, dan demikian pula sebaliknya. Allah swt. telah memberikan informasi kepada kita sebagaimana yang diilustrasikan dalam kitab suci Al-Qur’an : “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas (akibat) yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Al-mahfuzh)”. [9]

Pakaian takwa menurut Qatadah dan Ibnu Juraij dalam Tafsir Ibnu Katsir adalah “iman”,[10] yaitu tertanamnya keyakinan akan kebenaran yang datang dari Allah yang tersurat dan tersirat dalam kitab suci Al-Qur’an, dan adanya sikap menerima kebenaran dengan hati yang bersih (qalbun salim), serta dilanjutkan dengan amal saleh. Dan menurut pendapat Ibnu Abbas adalah “amal saleh”, yaitu perbuatan yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul.[11]

Pakaian yang bernuansakan taqwa menunjukkan identitas bagi orang yang beriman sebagai pemakainya, sehingga dapat terpelihara dari gangguan-gangguan tangan jahil. Renungkan firman Allah : “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” Yang demikiamn itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[12]
Bertambah jelaslah bagi kita, bahwa pakaian takwa adalah pakaian yang mencerminkan pribadi orang yang beriman dan bertakwa dan dapat dipertanggung jawabkan dalam kehidupan jangka panjang yang abadi. Pakaian seperti inilah sebenarnya yang dapat mengantarkan pemakainnya menuju kehidupan yang bernuansa surgawi yang penuh dengan kedamaian, keindahan dan kebahagiaan yang abadi dalam naungan rido Allah. Bukan sekedar baik menurut pendangan manusia secara lahiriah yang sering kali tunduk kepada selera hawa nafsu. Dan nafsu itu selalu menggiring manusia kepada kejahatan, kecuali yang dirahmati Allah.[13] Allah swt. mengingatkan kita agar selalu waspada menghadapi serangan yang dilancarkan Iblis dan pengikut-pengikutnya, sebab mereka selalu mengintai dan melihat kita, sementara kita tidak melihat mereka. Cermati firman Allah berikut ini : “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”.[14]

Adalah suatu sikap yang sangat merugikan jika belum merespon positif tuntunan Allah dalam memilih pakaian dan berpakaian. Allah mengingatkan kita dalam kitab suci Al-Qur’an : “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia : Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?. Allah berfirman : Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan. Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal”.[15]

Pakaian takwa adalah pakaian terbaik bagi hamba-hamba Allah yang beriman. Dan apabila kita memakainya dengan hati yang ikhlas, pasti Allah akan selalu mengucurkan rahmat-Nya yang penuh dengan berkah□

[1]. Hamka Prof. Dr. Tafsir Al-Azhar juz IV, Pustaka Panjimas, Jakarta 1983, hal. 20
[2]. QS. An-Nahl [16] :81
[3]. QS. Al-Baqarah [2] : 103
[4]. Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, Dar Al-Kutub Al-Mishriyah, tanpa tahun, hal. 207
[5]. QS. Al-A’raaf [7] : 26
[6]. Ihsan menurut arti bahasa adalah indah dan bagus. Dalam Hadits Nabi ditegaskan : Ihsan adalah hendaklah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika tidak, yakinkan, bahwa sesungguhnya Allah melihatmu.
[7]. Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan Tirmidzi, jilid 5 ,Dar Al-Kutub Al-ilmiah, Beirut, tanpa tahun, hal. 11
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلًَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ مِنْ اَكْمَلِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَاَلْطَفُهُمْ بِاَهْلِهِ (رواه الترمذي)
Dari Aisah ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. (HR.Tirmizi)
[8]. QS. Al-Hajj (22) : 46
[9]. QS. Yasiin [36] : 12
[10]. Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, Op cit, hal. 207
[11]. Ibid.
[12]. QS. Al-Ahzab [33] : 59
[13]. QS. Yusuf [12] : 53
[14]. QS. Al-A’raaf [7] : 27
[15]. QS. Thaha [20] : 124-127

1 komentar:

utsman mengatakan...

Alhamudlillah
Bertambah lagi perbendaharaah ilmu....
Terima kasih Ustadz.
Izinkan saya mempostingnya sebagian ust.
Terima kasih