PERKAWINAN
Oleh : H.Sirajuddin Syamsul Arifin Noer
Dasar Pembicaraan
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”.
(QS. An-Nisaa' [4] : 1)
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ. فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ {رواه ابن ماجه : 1845}
Dari Alqamah bin Qais ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu yang mampu dan berkeinginan hendak menikah,
hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat
memejamkan pandangan mata dan dapat memelihara kemaluan.
Dan barangsiapa yang belum mampu untuk menikah, hendaklah
ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa baginya dapat
mengurangi nafsuny terhadap perempuan.
(HR. Ibnu Majah : 1845)
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[1]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
(QS. An-Nisaa' [4] : 4)
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan”.
(QS. Ath-Thalaaq [65] : 7)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu diam bersamanya dengan tenteram (sakinah), dan dijadikan-Nya diantaramu rasa cinta (mawaddah) dan kasih-sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berfikir”.
(QS. Ar-Ruum [3] : 21)
Bergaul Suami Isteri
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[2] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[3]. Dan bergaullah dengan mereka secara patut (ma’ruf). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain[4], sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak,
maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta
dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”. “Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.
(QS. An-Nisaa' [4] : 19-21)
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Baqarah [2] : 223)
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا{رواه الترمذي: 1162}
Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik pribadi adalah pribadi orang yang paling baik akhlaknya terhadap isterinya.
(HR. Tirmidzi : 1162)
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[5]. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(QS. Al-Baqarah [2] : 228)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”.
(QS. An-Nisaa' [4] : 34)
خَيْرُ النِّسَاءِ اِمْرَأَةٌ اِنْ نَطَرْتَ اِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَاِنْ اَمَرْتَهَا اَطَاعَتْكَ وَاِنْ غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِيْ مَالِكَ وَ نَفْسِهَا.
Sebaik-baik wanita adalah isteri yang apabila engkau memangdangnya, ia menyenangkan kamu; dan jika engkau menyuruhnya ia mentaatimu; dan jika
engkau bepergian ia memelihara hartamu dan kehormatan dirinya.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَوْ كُنْتُ آمِرًا اَحَدًا اَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ اَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهاَ
{رواه الترمذي: 1159}
Dari Abu Hurairah diterima dari Nabi saw, beliau bersabda : Seandainya aku boleh menyuruh seseorang bersujud kepada seseorang, niscaya aku akan menyuruh
perempuan untuk bersujud kepada suaminya.
(HR. Tirmidzi : 1159)
Pernikahan adalah ikatan yang menghalalkan pergaulan antara wanita dan pria yang bukan mahram; dan membatasi hak dan kewajiban mereka. Akad nikah adalah perjanjian yang kokoh yang mendapatkan pengesahan dari Allah antara suami dan isteri; dan sekaligus di dalamnya terdapat jalinan silaturrahim antara dua keluarga yang berbeda kultur, adat istiadat, sehingga sangat diperlukan adanya sikap saling memahami, saling menghormati serta dituntut adanya perjuangan untuk menyesuaikan diri satu dengan yang lainnya.
Pasangan suami isteri pasti mendambakan adanya kehidupan yang penuh dengan “kebahagiaan”, yang di dalamnya terdapat “sakinah” (ketenteraman dan ketenangan), “mawaddah” (cinta sejati atau terisno), dan “rahmah” (kasih sayang). Rumah tangga yang demikian itulah yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai rumah tangga yang bernuansa kehidupan surgawi. “Rumahku surgaku” {بَيْتِيْ جَنَّتِيْ}. Demikianlah yang ditegaskan Rasulullah saw.
Kisah Berikut Sebagai Gambaran Keluarga
“Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah”.
Suatu ketika terdapat seorang pemuda saleh bernama “Abu saleh” sedang duduk di tepi sungai di seberang laut Kaspia, di Iran, tepatnya di suatu wilayah yang dikenal dengan Jailan. Tiba-tiba satu buah apel terapung mengikuti aliran sungai terlihat di hadapannya. Apel itu diambil dan langsug dimakannya. Ia telah beberapa hari tidak makan apa pun. Namun, rasa menyesal dalam benaknya muncul setelah buah apel sedikit menghilangkan rasa lapar. Ia merasa tidak mempunyai hak untuk memakannya sebelum mendapatkan izin dari pemiliknya. Ia betul-betul ingin mengetahui dengan jelas, bahwa buah yang dimakannya itu halal bagi dirinya. Ia pergi menelusuri sungai mencari pemiliknya. Ternyata, tidak terlalu jauh terdapat sebuah kebun apel, dan tidak terlalu lama telah dapat menjumpai pemiliknya, bernama “Abdullah Saumi”.
Abu saleh berkisah kepada pemilik kebun tentang peristiwa yang telah dialami. Dan tujuan menemuinya hanyalah untuk memohon keikhlasannya agar buah apel yang telah dimakannya itu dihalalkan bagi dirinya. Setelah memperhatikan tutur kata dan tindakan pemuda yang begitu tulus agar buah apel yang telah dimakannya dihalalkan, pemilik kebun kagum yang tiada terkira. Kekagumannya itu dinyatakan dengan kesediaannya menghalalkan, dengan syarat agar pemuda itu bersedia menikahi putrinya, seraya berkata : Hai anak muda! Aku akan meng-ikhlaskan buah apel yang telah engkau makan. Akan tetapi ada syarat yang harus engkau penuhi, yaitu : “Engkau bersedia menikahi anak perempuanku bernama Fatimah, yang sampai sekarang keadaannya buta, bisu dan lumpuh”. Demi mendapatkan keinginannya, agar buah apel yang telah dimakannya itu halal, pemuda bernama Abu Saleh menerima persyaratan itu dengan hati yang tulus dan ikhlas, walau terbayang dalam benaknya keadaan yang cukup memberatkan.
Setelah akad nikah, dan pesta perkawinan telah usai, Abu saleh mendatangi Fatimah di kamarnya. Betapa herannya melihat kenyataan. Di hadapannya terlihat seorang wanita cantik mempesona. Hampir-hampir tak percaya dengan penglihatannya. Ia mendekat, lalu berhenti dan terus mendekat sambil berusaha meyakinkan dirinya, bahwa wanita cantik itu adalah isterinya yang sah. Ternyata, sang isteri bukanlah seorang wanita yang sempat terbayangkan, buta, bisu dan lumpuh seperti informasi dari calon mertua sebelumnya.
Setelah mendapatkan penjelasan dari sang mertua, bahwa buta, bisu dan lumpuh itu adalah bahasa kiasan belaka untuk menguji kesalehan sang calon menentu, barulah Abu Saleh mendapatkan keyakinan yang mantap, bahwa wanita cantik itu adalah isterinya. Wanita bernama Fatimah itu disebut buta karena penglihatannya tidak dipergunakan melihat larangan Allah. Disebut bisu karena lisannya tidak dipergunakan mengeluarkan rangkaian kata yang dilarang Allah. Dan disebut lumpuh karena kakinya tidak digunakan melangkah ke tempat yang dilarang Allah.
Seorang pemuda saleh dan wanita salehah telah menjadi pasangan suami isteri yang sah, yaitu : Abu Saleh dan Fatimah dengan kehidupan yang bernuansa surgawi dalam naungan rido Allah. Setelah usia lanjut, pada bulan suci Ramadhan tahun 470 H, pasangan suami isteri itu dikaruniai seorang putra, diberi nama Abdul Qadir. Ia lahir di suatu wilayah yang dikenal dengan Jailan. Itulah sebabnya, di akhir namanya ditambah dengan kata Al-Jailani, sehingga dikenal dengan sebutan “Abdul Qadir Al - Jailani”. Ia menjadi yatim sejak masih usia muda, dan selanjutnya berada di bawah asuhan kakeknya. Ia seorang anak yang tekun mencari ilmu. Dalam usia tujuh belas tahun sudah mengikuti perkuliahan di sebuah Universitas, yaitu Jami’ah Nizamiah di Bagdad. Delapan tahun lamanya menuntut ilmu. Ia seorang mahasiswa yang tidak mudah mengeluh. Semangatnya tidak pernah kendor karena kekurangan bekal. Selama itu, ia dikenal ketekunan dan kesungguhannya, sehingga menjadi mahasiswa kesayangan Rektor Universitas bernama Abu Zakaria.
Setelah Abdul Qadir menamatkan pendidikan formalnya, ia mendapatkan latihan spiritual yang ketat dari seorang Sufi terkenal bernama Syeikh Abu Sa’id Al-Makhzumi. Ia menetap di Bagdad dan memanfaatkan sisa hidupnya mengabdikan diri untuk islam dan kemanusiaan. Ia dianugerahi lidah yang lancar sebagai seorang orator. Ceramahnya cukup mengena di hati umat, kaya akan nilai-nilai pendidikan, baik duniawi maupun ukhrawi. Pandangan ruhaniahnya menarik simpati banyak pengunjung hingga mencapai 80 ribu orang setiap kali pertemuan. Ia adalah seorang hamba yang tinggi ilmu pengetahuannya dengan pola hidup sederhana yang sampai sekarang dikenal dengan Syeikh Abdul Qadir Al- Jailani.[6]
Dari kisah di atas, kita mendapatkan informasi, bahwa menjaukan diri dari dosa ternyata mempunyai peranan yang sangat penting dalam perjalanan hidup membina keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmah. Abu Saleh, seorang pemuda yang betul-betul paham akan pesan-pesan Allah, ia sangat hati-hati, agar jangan sampai ada makanan yang haram masuk dalam perutnya. Ia menyadari, bahwa makanan dapat mendatangkan dampak yang sangat besar bagi kehidupan. Dengan makanan, seorang anak manusia itu tumbuh dan berkembang. Ia betul-betul memiliki keyakinan yang mantap kepada kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa yang halal itu jelas dan yang haram itu-pun jelas, sehingga ia sungguh-sungguh dalam mencari kejelasan status barang yang telah dimakannya.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang tiga istilah (Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah), baiklah kita urai secara singkat satu persatu sebagai berikut :
1. Sakinah (ketenteraman dan ketenangan), yang merupakan perkembangan dari akar kata “sa-ka-na” yang berarti “tenang”. Sesuai dengan perkembangan kebahasaan, maka keluar kata “maskan” yang berarti “rumah”, yang terambil dari akar kata yang sama. Arti tersebut memberikan informasi, bahwa rumah __ tempat tinggal yang bersifat materi itu merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi __ seharusnya dapat memberikan ketenangan kepada penghuninya. Allah menggambarkan rumah surga dengan “maskan” (bentuk tunggal), dan bentuk jamaknya “masaakin” (rumah-rumah) yang diberi sifat dengan “Thayyibah” (bagus dan menyenangkan). Firman Allah : “Allah berjanji kepada orang-orang mu’min laki-laki dan mu’min perempuan surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan mendapat “masaakin thayyibah” (tempat-tempat tinggal yang bagus dan menyenangkan), di surga ‘Adn. Dan keridoan Allah adalah lebih besar. Demikian itu adalah keberuntungan yang besar”.[7] Sebenarnya, rumah-rumah di dunia pun dapat menjadi tempat tinggal yang bagus dan menyenangkan (Thayyibah), apabila terpenuhi syarat sebagai hunian yang layak (ma’ruf), yaitu tempat tinggal yang diwarnai oleh nilai-nilai agung yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Allah berjanji untuk meberikan sakinah kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagaimana tergambar dalam firman-Nya : “Kemudian Allah menurunkan sakinah (ketenangan) kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya….” [8] Dengan jenis sakinah seperti yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dan kaum beriman, kehidupan keluarga dapat berkembang menjadi sebuah pangkal kesalehan, kemenangan dan kesuksesan yang menyenangkan, yang penuh mawaddah dan rahmah dalam naungan rido Allah.
2. Mawaddah (cinta sejati atau terisno), yaitu ketika seseorang tertarik kepada lawan jenisnya tidak semata-mata karena pertimbangan jasmaniah, melainkan juga karena hal-hal yang lebih abstrak, misalnya segi kepribadian, ilmu pengetahuan atau nilai-nilai mulia lainnya yang terdapat pada diri seseorang. Kecintaan terhadap lawan jenis yang demikian ini berada pada tingkat yang lebih tinggi dan disebut mawaddah, yang kecintaannya berpotensi untuk lebih kuat dan bertahan lebih lama, karena memiliki unsur kesejatian yang lebih mendalam, sehingga dapat memberi rasa bahagia yang lebih tinggi. Tingkat ini, unsur lahiriah jasmaniah dalam merajut cinta tidak terlalu banyak menjadi bahan pertimbangan. Kualitas kepribadiannya adalah lebih penting baginya dan lebih utama daripada penampilan fisiknya. Demikianlah yang ditampilkan pemuda saleh bernama Abu Saleh. Ia menerima persyaratan yang diajukan Abdullah Saumi, semata-mata ia berpikir jangka panjang yang abadi. Ia ingin meraih kebahagian yang hakiki. Hal Itu tentu dapat diraih dengan kebersihan hati (qalbun salim) yang pada gilirannya akan memancarkan budi luhur (akhlaq karimah). Ia betul-betul memahami informasi yang datang dari Rasulullah saw. seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuhmu dan tidak pula melihat rupamu, tetapi melihat hatimu”.[9]
3. Rahmah (kasih sayang), yaitu jenis kecintaan dan kasih sayang yang bernuansa Ilahiah, karena bersumber dan berpangkal dari sifat Allah yang Rahman dan Rahim. Keluarga yang penuh rahmah adalah keluarga yang dalam kehidupannya akan selalu berusaha meniru akhlak Allah, yaitu hubungan kasih sayang yang tidak terbatas, yang serba meliputi, murni dan sejati, sejalan dengan firman Allah : “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. [10]
Dalam membina keluarga, secara alamiah, seseorang tertarik kepada lawan jenisnya, pada umumnya, mula-mula melalui pertimbangan jasmaniah yang berkaitan dengan hasrat pemenuhan kebutuhan biologis, sehingga dengan pertimbangan itu ia jatuh cinta. Ketertarikan seseorang terhadap lawan jenisnya atas dasar pertimbangan lahiriah merupakan tingkat permulaan yang berada pada bagian yang paling rendah, alias primitif, yang dalam bahasa Arab disebut mahabbah.
Daya tarik manusia kepada lawan jenisnya adalah sejalan dengan sunnatullah, bahkan termasuk salah satu dari tanda-tanda kebesaran-Nya, yang apabila dihayati, akan mengantarkan kita ke arah keinsyafan yang mendalam akan kehadiran Allah dalam hidup ini, dan menuntun kita untuk selalu mengadakan pendekatan (taqarrub) kepada-Nya
[1]. Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
[2]. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
[3]. Maksudnya: Berzina atau membangkang perintah.
[4]. Maksudnya ialah: Menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
[5]. Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nisaa' ayat 34.
[6]. Kisah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani selengkapnya dapat dibaca dalam Suara Hidayatullah, 01/VII/Dzulhijjah, 1414 / Mei 1994, hal. 32 -33
[7]. QS. At-Taubah [9] : 72
[8]. QS. At-Taubah [9] : 26 dan 40 serta QS. Al-Fath [48] : 26
[9]. Muhammad bin ‘Alan, Dalilul falihin, jilid 1, Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, Mesir, 1971M/1391H, hal. 60-61
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَنْظُرُ اِلَى اَجْسَامِكُمْ وَلاَ اِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ اِلَى قُلُوْبِكُمْ {رواه مسلم}
[10]. QS. Al-A’raa [7] : 156
[1]. Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
[2]. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
[3]. Maksudnya: Berzina atau membangkang perintah.
[4]. Maksudnya ialah: Menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
[5]. Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nisaa' ayat 34.
[6]. Kisah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani selengkapnya dapat dibaca dalam Suara Hidayatullah, 01/VII/Dzulhijjah, 1414 / Mei 1994, hal. 32 -33
[7]. QS. At-Taubah [9] : 72
[8]. QS. At-Taubah [9] : 26 dan 40 serta QS. Al-Fath [48] : 26
[9]. Muhammad bin ‘Alan, Dalilul falihin, jilid 1, Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, Mesir, 1971M/1391H, hal. 60-61
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَنْظُرُ اِلَى اَجْسَامِكُمْ وَلاَ اِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ اِلَى قُلُوْبِكُمْ {رواه مسلم}[10]. QS. Al-A’raa [7] : 156
Selasa, 05 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar